Selasa, 16 Juni 2015

UU No.7 Tahun 2006



BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Korupsi merupakan wabah yang sangat berbahaya dengan begitu banyak efek merusak terhadap masyarakat. Korupsi melemahkan demokrasi dan negara hukum, menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, mengacaukan pasar, mengikis kualitas hidup dan membiarkan tumbuh suburnya kejahatan tergorganisasi, terorisme dan ancaman-ancaman lain terhadap keamanan umat manusia.
Fenomena kejahatan ini ada di semua negara, baik besar dan kecil, kaya dan miskin, namun di Negara dunia berkembanglah efek-efek korupsi paling merusak. Korupsi merugikan kaum miskin secara besar-besaran dengan cara menyimpangkan dana-dana yang dimaksudkan untuk pembangunan, melemahkan kemampuan sebuah Pemerintahan untuk memberikan pelayanan-pelayanan dasar, memperbesar ketidaksetaraan dan ketidakadilan serta mengurangi masuknya bantuan luar negeri dan investasi asing. Korupsi adalah unsur utama penyebab terpuruknya ekonomi dan hambatan utama dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Anti Korupsi (United Nations Convention against Corruption /UNCAC) mengirim pesan yang jelas bahwa masyarakat internasional sungguh-sungguh bertekad untuk mencegah dan memberantas korupsi. Hal ini akan memberi peringatan kepada para koruptor bahwa pengkhianatan terhadap kepercayaan publik tidak akan lagi ditoleransi. Ini akan menegaskan kembali pentingnya nilai-nilai inti seperti kejujuran, penghormatan kepada Negara hukum, akuntabilitas dan transparansi dalam memajukan pembangunan dan menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik bagi semua. Konvensi yang baru ini merupakan pencapaian yang luar biasa, dan menjadi pelengkapinstrumen lainnya yang juga sebagai tonggak, yakni Konvensi Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi, yang baru saja mulai berlaku sebulan yang lalu.
Konvensi ini bersifat seimbang, kuat dan pragmatis, dan menawarkan sebuah kerangka kerja baru yang efektif dalam mewujudkan kerjasama internasional. Konvensi ini memperkenalkan serangkaian standar, tindakan dan aturan yang komprehensif, yang dapat diterapkan oleh semua negara guna memperkuat rezim hukum dan peraturan perundangan mereka untuk memberantas korupsi. Konvensi ini mensyaratkan adanya upaya pencegahan dan kriminalisasi bentuk-bentuk korupsi yang paling sering terjadi pada sektor publik dan sektor swasta. Konvensi ini juga membuat sebuah terobosan besar dengan dipersyaratkannya Negara Peserta untuk mengembalikan aset yang diperoleh melalui korupsi kepada negara asal dari mana aset tersebut dicuri.
Ketentuan-ketentuan ini, menjadi pelopor dengan cara memperkenalkan sebuah prinsip dasar baru, sekaligus sebuah kerangka kerja bagi kerjasama yang lebih kuat antara Negara-Negara untuk mencegah dan mendeteksi korupsi dan untuk mengembalikan hasil perolehan korupsi tersebut. Pejabat-pejabat yang korup nantinya akan semakin sulit menyembunyikan hasil perolehan kejahatan mereka. Hal ini merupakan permasalahan yang sangat penting bagi banyak negara berkembang di mana pejabat tinggi yang korupsi telah menjarah kekayaan bangsa dan di mana pemerintahan baru sangat membutuhkan sumber-sumber daya untuk membangun ulang dan memulihkan masyarakat mereka.
Bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi ini merupakan titik puncak dari kerja yang dimulai bertahun-bertahun yang lalu, saat kata korupsi hampir tak pernah diucapkan dilingkungan birokrasi. Diperlukan upaya-upaya sistemik, dimulai dari tingkat teknis, kemudian perlahan-lahan pada tingkat politis untuk menempatkan pemberantasan korupsi pada agenda global. Konferensi Internasional di Monterrey mengenai Pembiayaan Pembangunan dan Pertemuan Tingkat Dunia di Johannesburg tentangPembangunan Berkelanjutan menawarkan kesempatan bagi Pemerintahan untuk menyampaikan tekad kuat mereka dalam melawankorupsi dan untuk membuat lebih banyak lagi orang sadar mengenai efek merusak luar biasa yang disebabkan korupsi terhadap pembangunan.
Parlemen Republik Indonesia melalui sidang pleno pada tanggal 20 Maret 2006 telah mengesahkaN UU No. 7 tahun 2006 tentang Ratifikasi UNCAC 2003. Indonesia menganggap penting untuK meratifikasi UNCAC karena merupakan upaya pemerintahannya untuk menegakkan "good governance" dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Meskipun telah ditandatangani sejak tahun 2003 dan diratifikasi pada awal 2006, banyak orang yang tidak tahu apa isi dari UNCAC tersebut. Terutama, terkait dengan UU Pemberantasan Korupsi yang\ saat ini milik Indonesia. Saat ini Indonesia telah mengesahkan tiga undang-undang tentang Pemberantasan Korupsi UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 1999 31 dan UU No. 20 Tahun 2001 Konvensi PBB tentang anti korupsi (UNCAC) telah ditandatangani untuk pertama kalinya di Merida, Meksiko pada tanggal 9 September 2003 oleh 133 negara.
Konvensi internasional ini telah disahkan oleh pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003 melalui rapat paripurna DPR RI pada tanggal 20 Maret 2006. Namun banyak kalangan yang belum mengetahui mengenai materi UNCAC, terutama terkait dengan peraturan perundangundangan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah diundangkan, yaitu UU Nomor 3 Tahun 1971, UU Nomor 31 Tahun 1999, dan UU Nomor 20 Tahun 2001. UNCAC memiliki maksud dan tujuan umum, yaitu untuk memajukan dan meningkatkan/memperkuat tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang lebih efisien dan efektif; untuk memajukan, memfasilitasi, dan mendukung kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam mencegah dan memerangi korupsi, terutama pengembalian aset; serta meningkatkan integritas dan akuntabilitas dan manejemen publik dalam pengelolaan kekayaan negara. Arti Penting Ratifikasi UNCAC bagi Indonesia:
1.         Meningkatkan kerjasama internasional khususnya dalam melacak, membekukan menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil korupsi yang ditempatkan di luar negeri.
2.         Meningkatkan kerjasama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
3.         Meningkatkan kerjasama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerjasama penegakan hukum.
4.         Mendorong terjalinnya kerjasama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidan korupsi di bawah payung kerjasama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral. Harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan konvensi ini.

B.           Rumusan Masalah
1.      Apa latar belakang lahirnya UU No.7 tahun 2006?
2.      Apa dampak yang terjadi setelah disahkan UU No.7 tahun 2006?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui latar belakang lahirnya UU No.7 tahun 2006.
2.      Untuk mengetahui dampak yang terjadi setelah disahkan UU No.7 tahun 2006.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Pengesahan UU No.7 Tahun 2006
Perjanjian umum atau law making treaty adalah perjanjian internasional yang ditinjau dari isi atau kaidah hukum yang dilahirkannya, dapat diikuti oleh Negara Negara lain yang semula tidak ikut serta dalam proses pembuatan perjanjian tersebut. Law making treaty, membuat hukum memiliki orientasi kedepan dan ditujukan untuk ditaati secara berkelanjutan. Akibat dari perjanjian internasional adalah timbulnya kewajiban yang dibebankan kepada Negara Negara, baik sebagai peserta maupun bukan peserta. Kewajiban yang dikenakan terhadap Negara Negara peserta merupakan kewajiban mengikat. Sedangkan terhadap Negara Negara non peserta perjanjian ini mengikat selama ketentuan yang ada mencerminkan hukum kebiasaan. UNCAC ( United Nation Convention Againts Corruption) merupakan perjanjian internasional yang diadakan oleh PPB yang kemudian diterima secara resmi oleh majelis umum PBB berdasarkan resolusi No. 57/169. Konvensi ini menimbulkan kewajiban terhadap Negara Negara pihak peretivikasi konvensi tersebut. Masing masing negara mempunyai alasan tersendiri dalam hal ikut serta merativikasi UNCAC demikian pula Indonesia. Kebijakan Indonesia merativikasi UNCAC pada tanggal 12 April 2006 didasarkan paada alasan tersebut. Sehingga Indonesia harus mampu melaksanakan tujuan tersebut dengan melaksanakan isi dari retivikasi UNCAC.
1.      Proses Rativikasi UNCAC oleh Pemerintah Indonesia
Pada tahap penandatanganan UNCAC pada tanggal 9 sampai 11 Desember 2003 di Merida Mexico, Menteri kehakiman dan HAM RI yang diberikan mandat oleh presiden untuk menandatangani UNCAC berhalangan datang. Sehingga Indonesia belum menandatangani UNCAC pada momentum yang tepat. Momentum yang baik ini tidak dimanfaatkan presiden Megawati pada waktu itu dan lebih memilih untuk diwakili oleh pejabat setingkat menteri, bukan wakil presidennya. UNCAC seharusnya ditandatangani oleh presiden bukan level menteri, sehingga memberikan kesan bahwa Top Leader Indonesia mendukung penanganan korupsi secara global dan memperlihatkan keseriusan pemberantasan korupsi ditiingkat nasional. Berbeda halnya dengan Austria, Hungaria, Yordania, Nigeria, Peru , dan Philipina dan mengurus wakil presidennya masing masing. Tidak ada penjelasan resmi yang disampaikan mengenai ketidakhadiran menteri kehakiman dan HAM RI di Merida Mexico. Baru pada tanggal 18 Desember 2003 , Menteri Yusril telah membubuhkan tandatangannya  di Markas Besar PBB di New York. Setelah itu Indonesia merativikasi konvensi tersebut pada tanggal 18 April 2006 yang disahkan dalam UU no. 7 Tahun 2006 tentang pengesahan UNCAC.
B.     Isi UU No.7 Tahun 2006
1.      Pasal 1
a)      Mengesahkan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 66 ayat (2) tentang Penyelesaian Sengketa.
b)      Salinan naskah asli United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 66 ayat (2) tentang Penyelesaian Sengketa dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana  yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
2.      Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



C.  Penjelasan UU No.7 Tahun 2006
1.      Umum
Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen dalam pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi. Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah
dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus yang berlaku sejak tahun 1957 dan telah diubah sebanyak 5 (lima) kali, akan tetapi peraturan perundang-undangan dimaksud belum memadai, antara  lain karena belum adanya kerja sama internasional dalam masalah pengembalian hasil tindak, pidana korupsi. Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 2003 di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa telah ikut menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Anti Korupsi yang diadopsi oleh Sidang ke-58 Majelis Umum melalui Resolusi Nomor 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003.
a.       Pokok-Pokok Pikiran Yang Mendorong Lahirnya Konvensi
Penyusunan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa diawali sejak tahun 2000 dimana Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidangnya ke-55 melalui Resolusi Nomor 55/61 pada tanggal 6 Desember 2000 memandang perlu dirumuskannya instrumen hukum internasional antikorupsi secara global. Instrumen hukum internasional tersebut amat diperlukan untuk menjembatani sistem hukum yang berbeda dan sekaligus memajukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara efektif. Untuk tujuan tersebut, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Ad Hoc Committee (Komite Ad Hoc) yang bertugas merundingkan draft Konvensi. Komite Ad Hoc yang beranggotakan mayoritas negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa memerlukan waktu hampir 2 (dua) tahun untuk menyelesaikan pembahasan sebelum akhirnya menyepakati naskah akhir Konvensi untuk disampaikan dan diterima sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
b.      Arti Penting Konvensi Bagi Indonesia
Ratifikasi Konvensi ini merupakan komitmen nasional untuk meningkatkan citra bangsa Indonesia dalam percaturan politik internasional. Arti penting lainnya dari ratifikasi Konvensi tersebut adalah:  untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri; meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik; meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral; dan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan Konvensi ini.

C.          Dampak Dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 2006
         Dampak ratifikasi tersebut sudah jelas akan ada amandemen terhadap semua produk hukum yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Amandemen harus dilakukan karena terdapat sekian banyak ketentuan yang banyak di dalam UNCAC yang tindak terdapat di dalam produk hukum tindak pidana korupsi di Indonesia terkait dengan sebelunya menurut hukum Indonesia bukan merupakan tindak pidana namun sebagai tindak pidana menurut UNCAC.
Selain itu juga karena sistem hukum pidana kita menganut asas legalitas (pasal 1 ayat 1 KUHP) yang menegaskan tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan perundang-undangan pidana (Indonesia) yang telah ada. Dari sisi teknis penerapan hukum pidana, ketentuan tindak pidana UNCAC tidak menyebutkan secara kongkrit sanksi pidana dan sanksi administrasi sehingga tidak mungkin dijadikan alasan hukum.
Selain itu, dampak dari dikeluarkannya UU No.7 tahun 2006 ini adalah masyarakat sadar akan upaya pemerintah terhadap pemberantasan korupsi.dan masyarakat dapat ikut andil terhadap upaya pemerintah tersebut.





















BAB III
PENUTUP

A.          Kesimpulan
Warga Negara Indonesia merupaka salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu Negara. Status kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbalbalik antara warga dan negaranya. Sabaliknya Negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warga negaranya. Oleh karena itu undang-undang ini dikeluarkan dengan tujuan untuk seluruh warga negaranya ikut andil dalam upaya tersebut. Dan adanya UU no. 7 tahun 2006 merupakan dampak atas keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan UNCAC di Meksiko.

B.           Saran
Berpijak pada reformulasi tindak pidana korupsi  dan value positif dari formulasi tindak pidana korupsi sebagaimana UNCAC tahun 2003,  Penulis menyarankan agar segera dilakukan reformulasi tindak pidana korupsi serta menkonkritkan kebijakan kriminalisasi tindak pidana korupsi ke dalam peraturan konkrit agar dapat diimplementasikan secara harmonis oleh aparat penegak hukum Indonesia. Hal ini merupakan suatu idealisasi konstruktif dari sebuah definisi korupsi yang sangat bermanfaat bagi pengembangan dan perbaikan serta positive movement sebuah penegakan hukum di Indonesia. Semoga tulisan sederhana ini menjadikan Indonesia sebagai negeri bebas dari tindak pidana korupsi dengan mempunyai Peraturan konkrit yang kuat dari sisi formulasi serta harmonis dari sisi implementasinya.







DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar