BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Korupsi merupakan wabah yang sangat berbahaya dengan
begitu banyak efek merusak terhadap masyarakat. Korupsi melemahkan demokrasi
dan negara hukum, menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia,
mengacaukan pasar, mengikis kualitas hidup dan membiarkan tumbuh suburnya
kejahatan tergorganisasi, terorisme dan ancaman-ancaman lain terhadap keamanan
umat manusia.
Fenomena kejahatan ini ada di semua negara, baik
besar dan kecil, kaya dan miskin, namun di Negara dunia berkembanglah efek-efek
korupsi paling merusak. Korupsi merugikan kaum miskin secara besar-besaran
dengan cara menyimpangkan dana-dana yang dimaksudkan untuk pembangunan,
melemahkan kemampuan sebuah Pemerintahan untuk memberikan pelayanan-pelayanan
dasar, memperbesar ketidaksetaraan dan ketidakadilan serta mengurangi masuknya
bantuan luar negeri dan investasi asing. Korupsi adalah unsur utama penyebab
terpuruknya ekonomi dan hambatan utama dalam pengentasan kemiskinan dan
pembangunan.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Anti
Korupsi (United Nations Convention against Corruption /UNCAC) mengirim pesan
yang jelas bahwa masyarakat internasional sungguh-sungguh bertekad untuk
mencegah dan memberantas korupsi. Hal ini akan memberi peringatan kepada para koruptor
bahwa pengkhianatan terhadap kepercayaan publik tidak akan lagi ditoleransi.
Ini akan menegaskan kembali pentingnya nilai-nilai inti seperti kejujuran,
penghormatan kepada Negara hukum, akuntabilitas dan transparansi dalam
memajukan pembangunan dan menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik bagi
semua. Konvensi yang baru ini merupakan pencapaian yang luar biasa, dan menjadi
pelengkapinstrumen lainnya yang juga sebagai tonggak, yakni Konvensi Menentang
Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi, yang baru saja mulai berlaku
sebulan yang lalu.
Konvensi ini bersifat seimbang, kuat dan pragmatis,
dan menawarkan sebuah kerangka kerja baru yang efektif dalam mewujudkan
kerjasama internasional. Konvensi ini memperkenalkan serangkaian standar,
tindakan dan aturan yang komprehensif, yang dapat diterapkan oleh semua negara
guna memperkuat rezim hukum dan peraturan perundangan mereka untuk memberantas
korupsi. Konvensi ini mensyaratkan adanya upaya pencegahan dan kriminalisasi
bentuk-bentuk korupsi yang paling sering terjadi pada sektor publik dan sektor
swasta. Konvensi ini juga membuat sebuah terobosan besar dengan
dipersyaratkannya Negara Peserta untuk mengembalikan aset yang diperoleh
melalui korupsi kepada negara asal dari mana aset tersebut dicuri.
Ketentuan-ketentuan ini, menjadi pelopor dengan cara
memperkenalkan sebuah prinsip dasar baru, sekaligus sebuah kerangka kerja bagi
kerjasama yang lebih kuat antara Negara-Negara untuk mencegah dan mendeteksi
korupsi dan untuk mengembalikan hasil perolehan korupsi tersebut.
Pejabat-pejabat yang korup nantinya akan semakin sulit menyembunyikan hasil
perolehan kejahatan mereka. Hal ini merupakan permasalahan yang sangat penting
bagi banyak negara berkembang di mana pejabat tinggi yang korupsi telah menjarah
kekayaan bangsa dan di mana pemerintahan baru sangat membutuhkan sumber-sumber
daya untuk membangun ulang dan memulihkan masyarakat mereka.
Bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi ini
merupakan titik puncak dari kerja yang dimulai bertahun-bertahun yang lalu,
saat kata korupsi hampir tak pernah diucapkan dilingkungan birokrasi.
Diperlukan upaya-upaya sistemik, dimulai dari tingkat teknis, kemudian
perlahan-lahan pada tingkat politis untuk menempatkan pemberantasan korupsi
pada agenda global. Konferensi Internasional di Monterrey mengenai Pembiayaan
Pembangunan dan Pertemuan Tingkat Dunia di Johannesburg tentangPembangunan
Berkelanjutan menawarkan kesempatan bagi Pemerintahan untuk menyampaikan tekad
kuat mereka dalam melawankorupsi dan untuk membuat lebih banyak lagi orang
sadar mengenai efek merusak luar biasa yang disebabkan korupsi terhadap
pembangunan.
Parlemen Republik Indonesia melalui sidang pleno
pada tanggal 20 Maret 2006 telah mengesahkaN UU No. 7 tahun 2006 tentang
Ratifikasi UNCAC 2003. Indonesia menganggap penting untuK meratifikasi UNCAC
karena merupakan upaya pemerintahannya untuk menegakkan "good governance"
dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Meskipun telah ditandatangani sejak tahun 2003 dan
diratifikasi pada awal 2006, banyak orang yang tidak tahu apa isi dari UNCAC
tersebut. Terutama, terkait dengan UU Pemberantasan Korupsi yang\ saat ini
milik Indonesia. Saat ini Indonesia telah mengesahkan tiga undang-undang
tentang Pemberantasan Korupsi UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 1999 31 dan UU No. 20
Tahun 2001 Konvensi PBB tentang anti korupsi (UNCAC) telah ditandatangani untuk
pertama kalinya di Merida, Meksiko pada tanggal 9 September 2003 oleh 133
negara.
Konvensi internasional ini telah disahkan oleh
pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
UNCAC 2003 melalui rapat paripurna DPR RI pada tanggal 20 Maret 2006. Namun
banyak kalangan yang belum mengetahui mengenai materi UNCAC, terutama terkait
dengan peraturan perundangundangan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi
di Indonesia yang telah diundangkan, yaitu UU Nomor 3 Tahun 1971, UU Nomor 31
Tahun 1999, dan UU Nomor 20 Tahun 2001. UNCAC memiliki maksud dan tujuan umum,
yaitu untuk memajukan dan meningkatkan/memperkuat tindakan pencegahan dan pemberantasan
korupsi yang lebih efisien dan efektif; untuk memajukan, memfasilitasi, dan
mendukung kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam mencegah dan
memerangi korupsi, terutama pengembalian aset; serta meningkatkan integritas
dan akuntabilitas dan manejemen publik dalam pengelolaan kekayaan negara. Arti
Penting Ratifikasi UNCAC bagi Indonesia:
1.
Meningkatkan kerjasama internasional
khususnya dalam melacak, membekukan menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil
korupsi yang ditempatkan di luar negeri.
2.
Meningkatkan kerjasama internasional
dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
3.
Meningkatkan kerjasama internasional
dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan
narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerjasama penegakan hukum.
4.
Mendorong terjalinnya kerjasama teknik
dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidan
korupsi di bawah payung kerjasama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada
lingkup bilateral, regional, dan multilateral. Harmonisasi peraturan
perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi sesuai dengan konvensi ini.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
latar belakang lahirnya UU No.7 tahun 2006?
2. Apa
dampak yang terjadi setelah disahkan UU No.7 tahun 2006?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui latar belakang lahirnya UU No.7 tahun 2006.
2. Untuk
mengetahui dampak yang terjadi setelah disahkan UU No.7 tahun 2006.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Pengesahan UU No.7 Tahun 2006
Perjanjian umum atau law making treaty
adalah perjanjian internasional yang ditinjau dari isi atau kaidah hukum yang
dilahirkannya, dapat diikuti oleh Negara Negara lain yang semula tidak ikut
serta dalam proses pembuatan perjanjian tersebut. Law making treaty, membuat
hukum memiliki orientasi kedepan dan ditujukan untuk ditaati secara
berkelanjutan. Akibat dari perjanjian internasional adalah timbulnya kewajiban
yang dibebankan kepada Negara Negara, baik sebagai peserta maupun bukan
peserta. Kewajiban yang dikenakan terhadap Negara Negara peserta merupakan
kewajiban mengikat. Sedangkan terhadap Negara Negara non peserta perjanjian ini
mengikat selama ketentuan yang ada mencerminkan hukum kebiasaan. UNCAC ( United
Nation Convention Againts Corruption) merupakan perjanjian internasional yang
diadakan oleh PPB yang kemudian diterima secara resmi oleh majelis umum PBB
berdasarkan resolusi No. 57/169. Konvensi ini menimbulkan kewajiban terhadap
Negara Negara pihak peretivikasi konvensi tersebut. Masing masing negara
mempunyai alasan tersendiri dalam hal ikut serta merativikasi UNCAC demikian
pula Indonesia. Kebijakan Indonesia merativikasi UNCAC pada tanggal 12 April
2006 didasarkan paada alasan tersebut. Sehingga Indonesia harus mampu
melaksanakan tujuan tersebut dengan melaksanakan isi dari retivikasi UNCAC.
1. Proses
Rativikasi UNCAC oleh Pemerintah Indonesia
Pada
tahap penandatanganan UNCAC pada tanggal 9 sampai 11 Desember 2003 di Merida
Mexico, Menteri kehakiman dan HAM RI yang diberikan mandat oleh presiden untuk
menandatangani UNCAC berhalangan datang. Sehingga Indonesia belum
menandatangani UNCAC pada momentum yang tepat. Momentum yang baik ini tidak
dimanfaatkan presiden Megawati pada waktu itu dan lebih memilih untuk diwakili
oleh pejabat setingkat menteri, bukan wakil presidennya. UNCAC seharusnya
ditandatangani oleh presiden bukan level menteri, sehingga memberikan kesan
bahwa Top Leader Indonesia mendukung penanganan korupsi secara global dan
memperlihatkan keseriusan pemberantasan korupsi ditiingkat nasional. Berbeda
halnya dengan Austria, Hungaria, Yordania, Nigeria, Peru , dan Philipina dan
mengurus wakil presidennya masing masing. Tidak ada penjelasan resmi yang
disampaikan mengenai ketidakhadiran menteri kehakiman dan HAM RI di Merida
Mexico. Baru pada tanggal 18 Desember 2003 , Menteri Yusril telah membubuhkan
tandatangannya di Markas Besar PBB di
New York. Setelah itu Indonesia merativikasi konvensi tersebut pada tanggal 18
April 2006 yang disahkan dalam UU no. 7 Tahun 2006 tentang pengesahan UNCAC.
B.
Isi
UU No.7 Tahun 2006
1. Pasal
1
a) Mengesahkan
United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap
Pasal 66 ayat (2) tentang Penyelesaian Sengketa.
b) Salinan
naskah asli United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan Reservation (Pensyaratan)
terhadap Pasal 66 ayat (2) tentang Penyelesaian Sengketa dalam bahasa Inggris
dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang
ini.
2. Pasal 2
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
C. Penjelasan UU No.7 Tahun 2006
1. Umum
Tindak pidana korupsi
merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi
transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa
Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik
dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-Iangkah pencegahan
dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan
baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan
dukungan manajemen dalam pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional,
termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi. Selama
ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah
dilaksanakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus yang berlaku sejak tahun 1957
dan telah diubah sebanyak 5 (lima) kali, akan tetapi peraturan
perundang-undangan dimaksud belum memadai, antara lain karena belum adanya kerja sama
internasional dalam masalah pengembalian hasil tindak, pidana korupsi. Pemerintah
Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 2003 di Markas Besar Perserikatan
Bangsa-Bangsa telah ikut menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Anti Korupsi yang diadopsi oleh Sidang ke-58 Majelis Umum melalui Resolusi
Nomor 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003.
a. Pokok-Pokok Pikiran Yang Mendorong Lahirnya Konvensi
Penyusunan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa diawali sejak tahun 2000 dimana Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidangnya ke-55 melalui Resolusi Nomor 55/61
pada tanggal 6 Desember 2000 memandang perlu dirumuskannya instrumen hukum
internasional antikorupsi secara global. Instrumen hukum internasional tersebut
amat diperlukan untuk menjembatani sistem hukum yang berbeda dan sekaligus
memajukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara efektif. Untuk
tujuan tersebut, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Ad Hoc Committee
(Komite Ad Hoc) yang bertugas merundingkan draft Konvensi. Komite Ad Hoc yang
beranggotakan mayoritas negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
memerlukan waktu hampir 2 (dua) tahun untuk menyelesaikan pembahasan sebelum
akhirnya menyepakati naskah akhir Konvensi untuk disampaikan dan diterima
sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
b.
Arti
Penting Konvensi Bagi Indonesia
Ratifikasi
Konvensi ini merupakan komitmen nasional untuk meningkatkan citra bangsa
Indonesia dalam percaturan politik internasional. Arti penting lainnya dari ratifikasi
Konvensi tersebut adalah: untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam
melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi
yang ditempatkan di luar negeri; meningkatkan kerja sama internasional dalam
mewujudkan tata pemerintahan yang baik; meningkatkan kerja sama internasional
dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan
narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum mendorong
terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja sama pembangunan
ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral;
dan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan Konvensi ini.
C.
Dampak
Dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 2006
Dampak
ratifikasi tersebut sudah jelas akan ada amandemen terhadap semua produk hukum
yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Amandemen harus dilakukan karena
terdapat sekian banyak ketentuan yang banyak di dalam UNCAC yang tindak
terdapat di dalam produk hukum tindak pidana korupsi di Indonesia terkait
dengan sebelunya menurut hukum Indonesia bukan merupakan tindak pidana namun
sebagai tindak pidana menurut UNCAC.
Selain
itu juga karena sistem hukum pidana kita menganut asas legalitas (pasal 1 ayat
1 KUHP) yang menegaskan tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan perundang-undangan pidana (Indonesia) yang telah ada. Dari sisi teknis
penerapan hukum pidana, ketentuan tindak pidana UNCAC tidak menyebutkan secara
kongkrit sanksi pidana dan sanksi administrasi sehingga tidak mungkin dijadikan
alasan hukum.
Selain
itu, dampak dari dikeluarkannya UU No.7 tahun 2006 ini adalah masyarakat sadar
akan upaya pemerintah terhadap pemberantasan korupsi.dan masyarakat dapat ikut
andil terhadap upaya pemerintah tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Warga Negara
Indonesia merupaka salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu Negara. Status
kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbalbalik antara warga dan negaranya.
Sabaliknya Negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warga
negaranya. Oleh karena itu undang-undang ini dikeluarkan dengan tujuan untuk
seluruh warga negaranya ikut andil dalam upaya tersebut. Dan adanya UU no. 7
tahun 2006 merupakan dampak atas keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan
UNCAC di Meksiko.
B.
Saran
Berpijak pada
reformulasi tindak pidana korupsi dan value positif dari formulasi tindak
pidana korupsi sebagaimana UNCAC tahun 2003,
Penulis menyarankan agar segera dilakukan reformulasi tindak pidana
korupsi serta menkonkritkan kebijakan kriminalisasi tindak pidana korupsi ke
dalam peraturan konkrit agar dapat diimplementasikan secara harmonis oleh
aparat penegak hukum Indonesia. Hal ini merupakan suatu idealisasi konstruktif
dari sebuah definisi korupsi yang sangat bermanfaat bagi pengembangan dan
perbaikan serta positive movement sebuah penegakan hukum di Indonesia. Semoga
tulisan sederhana ini menjadikan Indonesia sebagai negeri bebas dari tindak
pidana korupsi dengan mempunyai Peraturan konkrit yang kuat dari sisi formulasi
serta harmonis dari sisi implementasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar