BUDAYA AKADEMIK, ETOS KERJA, SIKAP TERBUKA DAN
KEADILAN
Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pendidikan Agama
Disusun Oleh
:
1.
Lia Enjelina Juniarti (1402450069)
2.
Wahyu Putri Septiana (1402450070)
3.
Siti Imro’atullayina (1402450071)
4.
Ellsa Sospa Citra Sari (1402450072)
5.
Alif Via Rahmadhani (1402450073)
6.
Amanda Permana Sari D.
P. (1402450074)
KEMENTRIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PRODI D IV KEBIDANAN
MALANG
TAHUN 2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepadat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Pendidikan Agama Islam ini dengan tepat
waktu yang berjudul “Budaya Akademik,
Etos Kerja, Sikap Terbuka, dan Keadilan”.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami mendapat banyak bantuan oleh
berbagai pihak. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Drs.H.Nu’man Khumaidi, S.Pd,
M.Pd.I selaku dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan
tugas makalah dan bantuan dalam penyelesaian makalah ini.
2.
Teman – teman kelas I B yang
telah memberikan motivasi dan saran-saran dalam penyelesaian makalah ini.
3.
Orang tua kami yang tidak
pernah lelah memberikan motivasi dan doa dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih kurang sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
Besar harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagai
informasi ataupun pengetahuan bagi pembaca dan dapat menjadi literature guna
membantu mahasiswa dalam belajar mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Malang, 16 Oktober 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN i
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Budaya Akademik
dalam Pandangan Budaya Islam 3
2.1.1 Pengertian Budaya Akademik 3
2.1.2 Pembahasan Tentang
Budaya Akademik 5
2.2 Etos Kerja, Sikap Terbuka Dan Keadialan Dalam
Pandangan Agama Islam 8
2.2.1
Etos Kerja 8
2.2.2 Sikap Terbuka 12
2.2.3 Bersikap Adil 13
2.2.4
Etos Kerja, Sikap Terbuka, dan Keadilan dalam Islam 17
BAB III PENUTUP 19
3.1
Kesimpulan 19
3.2
Saran 20
DAFTAR
PUSTAKA 21
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR
BELAKANG
Islam adalah agama yang universal, karena itu
masalah-masalah yang ada dalam masyarakat sudah barang tentu diatur di dalam
ajaran Islam. Kajian tentang Al Quran serta kandungan ajarannya tampaknya tidak
akan pernah selesai dan akan berlanjut sepanjang zaman. Keajaibannya akan
senantiasa muncul kepermukaan bagaikan mata air yang tidak pernah kering dan
akan selalu menjadi inspirasi kehidupan ummat Islam. Al Quran akan selalu hadir
dalam kehidupan yang sarat dengan berbagai persoalan hidup yang dialami oleh
umat Islam. Di sinilah letak salah satu keunikan Al Quran itu dan dari sini
kita dapat memahami mengapa orang yang mempercayainya tidak akan pernah
meragukan validitas ajarannya dan menganggapnya sebagai kebenaran mutlak dan
final meski dipihak lain orang yang meragukan dan tidak mempercayainya selalu
berupaya untuk meruntuhkan kebenaran Al Quran baik dengan cara halus atau
kasar, dibungkus dengan metode ilmiah yang mengandung distorsi atau bahkan
hanya dengan hujatan, tanpa mengandung ilmiah yang layak dalam kajian akademis.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin sudah
representatif untuk mewujudkan pendidikan multikultural(beragam budaya). Budaya
merupakan Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.
Dalam
makalah ini, penulis akan membahas lebih jauh tentang Budaya Akademik menurut
Islam, Budaya Etos Kerja menurut Islam, Budaya Sikap Terbuka dan Adil menurut
Islam.
1.2.
RUMUSAN
MASALAH
a) Apa
makna budaya akademik dalam sudut pandang Islam?
b) Apa
yang dimaksud etos kerja, sikap terbuka dan keadilan menurut pandangan Islam?
1.3.
TUJUAN
a) Memahami makna
budaya akademik dalam pandangan islam
b) Memahami maksud
dengan etos kerja, sikap terbuka dan keadilan dalam pandangan agama islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 BUDAYA AKADEMIK DALAM PANDANGAN AGAMA ISLAM
2.1.1 Pengertian Budaya Akademik
Budaya
akademik dalam pandangan Islam adalah suatu tradisi atau kebiasaan yang
berkembang dalam dunia Islam menyangkut persoalan keilmuan. Atau dalam bahasa
yang lebih sederhana adalah tradisi ilmiah yang dikembangkan Islam. Di antara
poin-poin pentingnya adalah pertama, tentang penghargaan Al-quran terhadap
orang-orang yang berilmu, di antaranya adalah:
1. Wahyu Al-quran yang turun pada masa awal
mendorong manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dalam ayat-ayat yang
pertama kali turun Al-'Alaq 96: l-5 tergambar dengan jelas betapa kitab suci
Al-quran memberi perhatian yang sangat serius kepada perkembangan ilmu pengetahuan.
Sehingga Allah SW'T menurunkan petunjuk pertama kali adalah terkait dengan salah
satu cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang dalam redaksi ayat tersebut menggunakan
redaksi "iqra" . Makna perintah tersebut bukanlah hanya sebatas
membaca dalam arti membaca teks, tetapi makna iqra' adalah membaca dengan melibatkan
pemikiran dan pemahaman dan itulah kunci perkembangan ilmu pengetahuan dalam
sepanjang sejarah kemanusiaan. Dalam kontek modern sekarang makna iqra' dekat
dengan makna reading with understanding
(membaca disertai dengan pemahaman).
2. Tugas Manusia sebagai khalifah Allah di Bumi akan
sukses kalau memiliki ilmu pengetahuan. Penggalan ayat 3l dari Surat Al-Baqarah
yang berbunyi "Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda)
seluruhnya", juga mengandung arti bahwa salah satu keistimewaan manusia
adalah kemampuannya mengekspresikam apa yang terlintas dalam benaknya serta
kemampuannya menangkap bahasa sehingga ini mengantarnya mengetahui. Di sisi
lain kemampuan manusia merumuskan ide dan memberikan nama bagi segala sesuatu merupakan
langkah menuju terciptanya manusia yang berpengetahuan dan lahirnya ilmu pengetahuan.
3. Muslim yang baik tidak pernah berhenti untuk
menambah ilmu. Etos untuk terus menambah ilmu pengetahuan dapat diterjemahkan
bahwa yang disebut belajar atau menuntut ilmu bukan hanya pada musim tertentu
atau dalam formalitas satuan pendidikan tertentu, melainkan sepanjang hayat
masih dikandung badan maka kewajiban untuk terus menuntut ilmu tetap melekat
dalam diri setiap muslim. Salah satu hikmahnya adalah bahwa kehidupan terus
mengalami perubahan dan perkembangan menuju kemajuan, maka kalau seorang muslim
tidak terus menambah pengetahuannya jelas akan tertinggal oleh perkembangan
zaman yang pada gilirannya tidak dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan.
Al-quran jelas membedakan antara orang yang berpengetahuan dengan orang-orang
yang tidak berpengetahuan.
4. Orang yang
berilmu akan dimuliakan oleh Allah SWT. Secara garis besar manusia dapat
dibedakan ke dalam dua kelompok besar; pertama, orang yang sekedar beriman dan
beramal, dan yang kedua adalah orang yang beriman dan beramal shalih serta
memiliki pengetahuan. Posisi atau derajat kelompok kedua ini lebih tinggi bukan
saja karena nilai ilmu yang dimiliki, tetapi juga amal dan usahanya untuk
mengajarkan ilmu yang dimiliki tersebut, baik melalui lisan, tulisan atau
bahkan tindakan. Ilmu yang dimaksud tentu saja bukan hanya ilmu agama tetapi
ilmu apapun yang rnembawa maslahat bagi kehidupan manusia.
Di samping memberikan apresiasi terhadap orang yang
berilmu poin penting lain yang dijelaskan Al-quran adalah bahwa:
1.
Iman seorang muslim tidak akan kokoh
kalau tidak ditopang dengan ilmu, demikian juga dengan amal shalih.
2.
Tugas kekhalifahan manusia tidak akan
dapat sukses kalau tidak dilandasi dengan ilmu.
3.
Karakter seorang muslim yang berbudaya
akademik adalah; orang yang selalu mengingat Allah yang disertai dengan ikhtiar
untuk selalu menggunakan akalnya untuk memikirkan ciptaan Allah SWT. Serta
selalu berusaha menambah ilmu dengan membuka diri terhadap setiap informasi
yang baik dan kemudian memilih yang terbaik untuk dijadikan pegangan dan
diikutinya.
2.1.2 Pembahasan Tentang Budaya Akademik
Dari berbagai Forum terbuka tentang
pembahasan Budaya Akademik yang berkembang d Indonesia, menegaskan berbagai
macam pendapat di antaranya :
1) Konsep dan
Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik
Dalam situasi yang sarat idealisme,
rumusan konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik yang disepakati oleh
sebagian besar (167/76,2%) responden adalah “Budaya atau sikap hidup yang
selalu mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat
akademik, yang mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran
kritis-analitis; rasional dan obyektif oleh warga masyarakat akademik” Konsep
dan pengertian tentang Budaya Akademik tersebut didukung perumusan karakteristik
perkembangannya yang disebut “Ciri-ciri Perkembangan Budaya Akademik” yang
meliputi berkembangnya :
1) Penghargaan terhadap pendapat orang
lain secara obyektif.
2) Pemikiran rasional dan kritis-analitis
dengan tanggungjawab moral.
3) Kebiasaan membaca.
4) Penambahan ilmu dan wawasan.
5) Kebiasaan meneliti dan mengabdi
kepada masyarakat.
6) Penulisan artikel, makalah, buku.
7) Diskusi ilmiah.
8) Proses belajar-mengajar.
9) Manajemen perguruan tinggi yang baik.
2. Tradisi Akademik
Pemahaman mayoritas responden
(163/74,4%) mengenai Tradisi Akademik adalah, “tradisi yang menjadi ciri khas
kehidupan masyarakat akademik dengan menjalankan proses belajar-mengajar antara
dosen dan mahasiswa seperti menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, serta mengembangkan cara-cara berpikir kritis-analitis, rasional
dan inovatif di lingkungan akademik”
Tradisi menyelenggarakan proses
belajar-mengajar antara guru dan murid, antara pandito dan cantrik, antara kiai
dan santri sudah mengakar sejak ratusan tahun yang lalu, melalui lembaga-lembaga
pendidikan seperti padepokan dan pesantren. Akan tetapi tradisi-tradisi lain
seperti menyelenggarakan penelitian adalah tradisi baru. Demikian pula, tradisi
berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif adalah kemewahan yang tidak
terjangkau tanpa terjadinya perubahan dan pembaharuan sikap mental dan tingkah
laku yang harus terus-menerus diinternalisasikan dan disosialisasikan dengan
menggerus sikap mental paternalistik dan ewuh-pakewuh yang berlebih-lebihan
pada sebagian masyarakat akademik yang mengidap tradisi lapuk, terutama dalam
paradigma patron-client relationship yang mendarah-daging.
3. Kebebasan Akademik
Pengertian tentang “Kebebasan
Akademik” yang dipilih oleh 144 orang (65,7%) responden adalah kebebasan yang
dimiliki oleh pribadi-pribadi anggota sivitas akademika (mahasiswa dan dosen)
untuk bertanggung jawab dan mandiri yang berkaitan dengan upaya penguasaan dan
pengembangan Iptek dan seni yang mendukung pembangunan nasional. Kebebasan
akademik meliputi kebebasan menulis, meneliti, menghasilkan karya keilmuan,
menyampaikan pendapat, pikiran, gagasan sesuai dengan bidang ilmu yang
ditekuni, dalam kerangka akademis (Kistanto, et. al., 2000: 86).
“Kebebasan Akademik” berurat-berakar
mengiringi tradisi intelektual masyarakat akademik – tetapi kehidupan dan
kebijakan politik acapkali mempengaruhi dinamika dan perkembangannya. Dalam
rezim pemerintahan yang otoriter, kiranya kebebasan akademik akan sulit
berkembang. Dalam kepustakaan internasional kebebasan akademik dipandang
sebagai inti dari budaya akademik dan berkaitan dengan kebebasan berpendapat
(lihat CODESRIA 1996, Forum 1994, Daedalus Winter 1997, Poch 1993, Watch 1998,
Worgul 1992).
Dalam masyarakat akademik di
Indonesia, kebebasan akademik yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat telah
mengalami penderitaan yang panjang, selama puluhan tahun diwarnai oleh
pelarangan dan pembatasan kegiatan akademik di era pemerintahan Suharto (lihat
Watch 1998). Kini kebebasan akademik telah berkembang seiring terjadinya
pergeseran pemerintahan dari Suharto kepada Habibie, dan makin berkembang
begitu bebas pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, bahkan hampir tak terbatas
dan “tak bertanggungjawab,” sampai pada pemerintahan Megawati, yang makin sulit
mengendalikan perkembangan kebebasan berpendapat.
Selain itu, kebebasan akademik
kadangkala juga berkaitan dengan sikap-sikap dalam kehidupan beragama yang pada
era dan pandangan keagamaan tertentu menimbulkan hambatan dalam perkembangan
kebebasan akademik, khususnya kebebasan berpendapat.
Dapat dikatakan bahwa kebebasan
akademik suatu masyarakat-bangsa sangat tergantung dan berkaitan dengan situasi
politik dan pemerintahan yang dikembangkan oleh para penguasa. Pelarangan dan
pembatasan kehidupan dan kegiatan akademik yang menghambat perkembangan
kebebasan akademik pada lazimnya meliputi :
1. Penerbitan buku tertentu.
2. Pengembangan studi tentang ideologi
tertentu.
3. Pengembangan kegiatan kampus,
terutama demonstrasi dan diskusi yang bertentangan dengan ideologi dan
kebijakan pemerintah atau negara.
2.2 ETOS KERJA, SIKAP TERBUKA DAN KEADILAN DALAM PANDANGAN AGAMA ISLAM
2.2.1 Etos Kerja
Telah disebutkan terdahulu hakikat
manusia terletak pada eksistensinya. “Eksistensinya” berarti berpikir untuk
mencipta yang menghasilkan produk atau ciptaan. Dengan kata lain hakikat
manusia adalah kerja. Konsekuensi logisnya adalah berhenti bekerja hilang
hakikatnya sebagai manusia. Telah disebutkan pula bahwa Islam lebih
mementingkan amal dari pada gagasan atau terminal terakhir adalah amal. Amal
identik dengan kerja dan sekali lagi hakikat manusia adalah kerja.
Alquran sendiri memandang amal itu
begitu penting. Kata amal dan berbagai kata yang seakar kata dengannya seperti ya’malun,
ta’malun, ‘amila, i’malu dan yang sejenisnya disebut dalam
Al-Quran sebanyak 192 kali. Kata amal shalih yang dirangkai dengan kata
iman sebanyak 46 kali. Ini berarti hakikat manusia atas dasar pendekatan
kebudayaan maupun agama adalah sama yaitu terletak pada kerja atau amal.
Kesimpulan ini didukung oleh pepatah:
ا لعلم بلا عمل كا لنخل بلا عسل
(ilmu tanpa amal bagaikan lebah
tanpa madu) atau
ا لعلم بلا عمل كا لشجر بلا ثمر
(ilmu tanpa amal bagaikan pohon
tanpa buah).
Dengan demikian manusia yang tidak
beramal atau tidak bekerja hakikat kemanusiaannya tidak utuh, atau bahkan
hilang hakikat kemanusiaannya.
Supaya manusia tidak hilang hakikat
kemanusiaannya, Rasulullah mengajarkan kepada umatnya supaya terjauh dari sifat
pemalas. Demikian doa Rasul:
للهم ا نى اعو ذ بك من الكسل والعجز
والبخل (روا ه التر مذى عن زيد بن ارقم)
(ya Allah sesungguhnya aku mohon
perlindungan Engakau dari kemalasan, kelemahan, dan kebakhilan. H.R at-Turmuzi
dari ibn Arqam (at-Turmuzi, V:226)).
Malas, lemah kepribadian dan bakhil
adalah penghalang utama dalam menumbuhkan etos apapun termasuk etos kerja.
Sebaliknya Islam memotifasi demikian bersemangat supaya setiap pemeluknya rajin
beramal atau bekerja. Allah berfirman:
Artinya :
“ Barangsiapa membawa amal yang
baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan Barangsiapa yang
membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang
dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan) “.(
QS Al An’am : 160 ).
Dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa
siapa yang beramal baik pahalanya dilipatgandakan 10 kali lipat. Sebelas kali
Allah berfirman bahwa orang yang beramal baik itu berakhir dengan keberuntungan
(Abd al-Baqi, [t.th.]:668). Satu diantara:
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman,
ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan,
supaya kamu mendapat kemenangan “. ( QS Al Hajj : 77 ).
Kata kemenangan dalam ayat itu sama
dengan keberuntungan, dapat diperhatikan dalam ayat berikut:
Artinya :
“ Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman “.(QS. Al Mu’minun: 1)
Keberuntungan atau kemenangan dalam
ayat tersebut dan ke 11 yang lain dalam Al-Quran selalu berarti sebagai akibat
dari amal baik. Keberuntungan sebagai amal atau kerja bisa berupa pahala yang
dinikmati besok di hari akhirat kelak, bisa di kehidupan dunia sekarang. Bahkan
sesungguhnya, karena Islam tidak mengenal paham sekularisme, yaitu pemisahan urusan
dunia dan urusan akhirat (agama), justru setiap urusan apapun dalam Islam
selalu mengandung dimensi dunia dan akhirat. Karena itu di dalam Islam
dianjurkan mencari kebahagiaan dunia dan kehidupan akhirat sekaligus. Allah
berfirman:
Artinya :
“Dan di antara mereka ada orang yang
bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka“. ( QS. Al Baqarah : 201
).
Kebahagiaan (hasanah) tidak pernah
datang begitu saja kepada seseorang yang berpangku tangan. Hanya kerja keras
kebahagiaan juga takkan didapat. Tetapi kebahagiaan selalu merupakan perpaduan
antara kerja keras dan anugerah Allah. Karena itu Allah juga memerintahkan
supaya di dalam mencari kehidupan itu tidak setengah-setengah, dunia saja atau
akhirat saja, melainkan keduannya.
Artinya :
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan “. ( QS. Al Qashash : 77 ).
Kemudian, di dalam kerja keras
mencari kebahagiaan baik dunia maupun akhirat itu ada kode etiknya, yaitu tidak
boleh berbuat kerusakan, kerusakan apapun (diri sendiri, hubungannya dengan
orang lain, terhadap tetumbuhan, binatang, maupun alam semesta).
2.2.2 Sikap Terbuka
Inti sikap terbuka adalah jujur, dan
ini merupakan ajaran akhlak yang penting di dalam Islam. Lawan dari jujur
adalah tidak jujur. Bentuk-bentuk tidak jujur antara lain adalah korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebagai bangsa, kita amat prihatin, di satu sisi,
kita (bangsa Indonesia) merupakan pemeluk Islam terbesar di dunia, dan di sisi
lain sebagai bangsa amat korup. Dengan demikian terjadi fenomena antiklimak.
Mestinya yang haq itu menghancurkan yang bathil, justru dalam tataran praktis
seolah-olah yang haq bercampur dengan yang bathil. Tampilan praktisnya, salat
ya, korupsi ya. Ini adalah cara beragama yang salah.
Cara beragama yang benar harus ada
koherensi antara ajaran, keimanan terhadap ajaran, dan pelaksanaan atas ajaran.
Dapat dicontohkan di sini, ajaran berbunyi:
Artinya :
“ ….Sesungguhnya shalat itu mencegah
dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar…..” ( QS. Al ‘Ankabut : 45 ).
Manusia merespon terhadap ajaran
(wahyu) itu dengan iman. Setelah itu ia mewujudkan keimanannya dengan melakukan
salat dan di luar pelaksanaan salat mencegah diri untuk berbuat keji dan
munkar.
Termasuk koherensi antara ajaran,
iman, dan pelaksanaan ajaran adalah jika terlanjur berbuat salah segera
mengakui kesalahan dan memohon ampunan kepada siapa ia bersalah (Allah atau
sesama manusia). Jika berbuat salah kepada Allah segera ingat kepada Allah dan
bertaubat kepada-Nya.
Artinya :
“ dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka…. “ ( QS. Ali Imron :
135 ).
Jika berbuat salah kepada manusia
segera meminta maaf kepadanya tidak usah menunggu lebaran tiba. Pengakuan
kesalahan baik terhadap Allah maupun kepada selain-Nya ini merupakan sikap
jujur dan terbuka. Menurut Islam sikap jujur dan terbuka termasuk baik. Nabi
bersabda:
ا ن ا لصد ق يهدى ا لى ا لبر وا ن ا
لبر يهدى ا لى ا لجنة وا ن ا لرجل يصد ق حتى يكتب عند الله صد يقا. وا ن ا لكذ ب
يهد ا لى ا لفجور. وا ن ا لفجور يهدى ا لنا ر. وا ن الرجل ليكذ ب حتى يكتب عند لله
كذا با( متفق عليه)
(Sesungguhnya jujur itu menggiring
ke arah kebajikan dan kebajikan itu mengarah ke surga. Sesungguhnya lelaki yang
senantiasa jujur, ia ditetapkan sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya bohong
itu menggiring ke arah dusta. Dusta itu menggiring ke neraka. sesungguhnya
lelaki yang senantiasa berbuat bohong itu akan ditetapkan sebagai pembohong.
Muttafaq ‘alaih (an-Nawawi, [t.th.]:42)).
2.2.3 Bersikap Adil
Secara leksikal adil dapat
diaritikan tidak berat sebelah, tidak memihak, berpegang kepada kebenaran,
sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang (Kamus Besar, l990 :6-7) Dari
masing-masing arti dapat dicontohkan sebagai berikut: (1) Cinta kasih seorang
ibu terhadap putra-putrinya tidak berat sebelah. (2) Dalam memutuskan perkara,
seorang hakim tidak memihak kepada salah satu yang bersengketa.(3) Di dalam
menjalankan tugasnya sebagai hakim, Hamid selalu berpegang kepada kebenaran.
(4) Sudah sepatutnya jika akhlaqul-karimah guru diteladani oleh
murid.(5) Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak berbuat sewenang-wenang
terhadap yang dipimpin. Dari masing-masing contoh ini dapat disimpulkan bahwa
sikap adil amat positif secara moral.
Karena sifat yang positif, tentu
sikap adil didambakan oleh banyak orang. Dalam contoh-contoh di atas, sikap
adil bersikap positif atau menguntungkan orang lain. Adil juga dapat dartikan
tingkah laku dan kekuatan jiwa yang mendorong seseorang untuk mengendalikan
amarah dan syahwat dan menyalurkannya ke tujuan yang baik (al-Hufiy, 2000: 24).
Dalam definisi ini dapat dipahami bahwa adil adalah kondisi batiniah seseorang
yang berbentuk energi. Energi ini mendesak keluar untuk mengendalikan amarah
dan kemauan-kemauan hawa nafsu sehingga perbuatan yang keluar menjadi baik.
Yang mestinya orang itu menuruti hawa nafsu, karena kendali sikaprbuatannya
menjadi terarah, tidak merugikan diri sendiri dan orng lain.
Adil dapat diartikan menempatkan
berbagai kekuatan batiniah secara tertib dan seimbang (al-Hufiy, 2000 :26).
Kekuatan yang dimaksud adalah al-hikmah, asy-syaja’ah, dan al-‘iffa.al-Hikmah
berarti kecerdasan. Orang cerdas dapat membedakan antara yang benar dan
salah, baik dan buruk, haq dan batal secara tepat, tetapi belum tentu ia selalu
memilih yang benar, yang baik, dan yang haq. Asy-syaja’ah berarti berani
tanpa rasa takut. Al-‘ffah berarti suci. Ketiga sifat utma ini jika
tidak seimbang menjadi tidak baik. Orang amat cerdas atau genius tetapi
kecerdasannya dapat dijadikan alat untuk mengelabuhi orang lain karena tidak
ada ‘iffah di dalam dirinya. Orang selalu berani menangani setiap
masalah yang dihadapi, tentu akan menampakkan profil preman karena tidak ada al-hikmah
dan ‘iffah di dalam dirinya. Orang cerdas dan berani lalu digunakan
untuk mengeruk kekayaan negara secara tidak syah adalah tidak baik karena tidak
‘iffah di dalam dirinya. Orang selalu hanya memilih kesucian dalam semua
suasana secara terang-terangan tentu dapat membahayakan diri sendiri.
Jika antara al-hikmah,
asy-syaja’ah, dan al-‘iffah berpadu secara seimbang dalam diri
seseorang, maka orang itu akan bersikap adil. Orang berani melakukan sesuatu
setelah ditimbang-timbang bahwa sesuatu itu baik menurut akal dan menurut
pertimbangan syariat juga baik . inilah gambaran perbuatan adil. Berarti, ia
berani berbuat karena benar. Orang tidak berani berbuat juga karena benar,
adalah bersikap adil, bukan karena takut. Dengan dimikian adil adalah puncak
dari ketiga sifat utama tersebut.
Islam memandang sikap adil amat
fundamental dalam struktur ajaran. Kata adil dan berbagai turunannya seperti : ya’dilun,
i’dilu, ‘adlun, dan ta’dili diulang sebanyak 28 kali di dalam
Alquran. Karena itu Allah memerintah kepada kita supaya berlaku adil dalam
semua hal. Allah berfirman:
Artinya :
“...Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa...” (QS. Al Maidah: 8).
Kata adil sinonim dengan al-qish.
Kata ini dan berbagai derivasinya, umpama: iqshitu, al-muqshitun, dan
al-qashitun terulaqng sebanyak 25 kali dalam Alquran (‘Abd al-Baqiy,
[t.th.] :P690). Kadang-kadang kata adil dan kata al-qisht disebut secara
besama-sama dan satu sama lain berarti sama. Contohnya adalah:
Artinya :
“ dan kalau ada dua golongan dari
mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi
kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
Berlaku adil “. ( QS. Al Hujurat : 9 ).
Karena baik secara rasional maupun
syariah bahwa sikap adil itu adalah baik dan positif, tetapi di sisi lain kita
merupakan pemeluk agama Islam terbesar dunia dan di saat yang sama dikenal
sebagai bangsa dengan aneka predikat yang tidak baik seperti KKN (korupsi,
kolusi, dan nepotisme), maka untuk merubah citra buruk itu salah satu cara
strategis adalah membudayakan sikap adil dalam semua lapangan kehidupan.
Untuk mewujudkan sikap adil harus
dilatih terus menerus secara berkesinambungan, yang bererti pembiasaan berlaku
adil. “Mulai sekarang, mulai yang sederhana, dan mulai dari diri sendiri”,Inilah
komitmen untuk mulai pembiasaan berlaku adil. Jika langkah awal ini dapat
dilalui dengan baik, tentu mudah menjalar kepada orang lain, apalagi kalau yang
memulai komitmen itu adalah orang yang memiliki pengaruh di masyarakat di mana
ia berada karena salah satu naluri manusia adalah meniru idola. Jika idola
tidak bersikap adil, tentu para fansnya akan meniru tidak adil pula.
Dalam Islam orang yang paling pantas
untuk di dudukkan sebagai idola untuk ditiru dan diteladani adalah Rasulullah
SAW. Allah berfirman yang artinya :
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah “. (
QS. Al Ahzab : 21 ).
Selain itu ‘Aisyah, istri
Rasulullah, menyebutkan bahwa akhlak beliau adalah Al-Quran “kana khuluqulm
Al-Quran” (H.R Muslim dari ‘Aisyah). Kiranya terlalu pantas jika idola
pertama seluruh umat Islam adalah Rasulullah. Hingga sekarang Rasulullah adalah
orang yang paling berpengaruh di dunia (rangking pertama) dari seratus orang
yang paling berpengaruh di dunia (Hart, 1982:4). Cukup banyak contoh-contoh
sikap adil yang ditampakkan oleh Rasulullah, antara lain:
An-Nu’man bin Basyir mengatakan,
“Ayahku memberi sesuatu pemberian kepadaku. Lalu ibuku Amrah bin Rawahah
berkata, “Aku tidak rela sebelum engkau persaksikan hadiah itu di hadapan
Rasulullah SAW”.
Ayahku lalu menghadap Rasulullah SAW
dan berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah membarikan suatu pemberian
kepada anakku dari Amrah bin Rawahah. Kemudian aku diperintahkannya supaya
bersaksi kepada Tuan!”
Rasulullah SAW lalu berkata, “Apakah
engkau juga telah memberi kepada semua anakmu pemberian seperti ini?”
An-Nu’man menjawab, “Tidak”.
Beliau lalu bersabda, “bertaqwalah
kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu!”
Kemudian ayahku pulang dan menarik
kembali pemberiannya.
Dan ada orang perempuan
Makhdzumiyyah mencuri. Mereka berkata, “Siapakah yang akan membicarakan hal ini
kepada Rasulullah SAW?”
Tidak ada seorangpun yang berani
kecuali (kekasih wanita itu) Usman bin Zaid r.a. Lalu ia membicarakan hal
tersebut dengan Rasulullah SAW.
Beliau berkata, “Apakah kamu akan
bertindak sebagai pembela dalam pelanggarana hukum Allah?” Kemudian
Rasulullah SAW berdiri serta berkhotbah. Di antara isi khotbahnya beliau
bersabda, “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah
apabila ada seorang dari golongan bangsawan mencuri, mereka biarkan saja,
tetapi bila yang mencuri itu dari golongan bawah (lemah), dia dijatuhi hukuman.
Demi Allah andaikata Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti akan kupotong
tangannya.” (Al-hufiy, 2000:189)
Dan masih banyak contoh lain tentang
keadilan Rasulullah.
2.2.4 Etos Kerja, Sikap Terbuka, dan Keadilan dalam Islam
Budaya akademik akan dapat terwujud
dengan syarat sikap-sikap positif juga dimiliki. Di antara sikap positif yang
harus dimiliki adalah etos kerja yang tinggi,sikap terbuka dan berlaku adil.
Arti penting dari ketiga sikap tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
Untuk dapat meningkatkan etos kerja
seorang muslim harus terlebih dahulu memahami tugasnya sebagai manusia yaitu
sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi dan sebagai hamba yang berkewajiban
untuk beribadah kepad aAllah SWT. Beberapa petunjuk Al-Qur’an agar dapat
meningkatkan etos kerja antara lain;
1. Mengatur waktu dengan
sebaik-baiknya.
2. Bekerja harus sesuai dengan
bidangnya dan ini harus diberi catatan bahwa etos kerja yang tinggi tidak boleh
menjadikan orang tersebut lupa kepada Allah SWT.
Sikap positif selanjutnya adalah
sikap terbuka dan jujur, seseorang tidak mungkin meraih keberhasilan dengan
cara mempunyai etos kerja yang tinggi kalu tidak memiliki sikap terbuka dan
jujur. Karenaorang yang tidak terbuka maka akan cenderung menutup diri sehingga
tidak dapat bekerjasama dengan orang lain. Apalagi kalu tidak jujur maka
energinya akan tersita untuk menutupi ketidakjujuran yang dilakukan. Maka
Al-qur’an dan Hadis memberi apresiasi yang tinggi tehadap orang yang terbuka
dan jujur.
Buah dari keterbukaan seseorang maka
akan melahirkan sikap adil. Makna yang diperkenalkan Al-qur’an buka hanya dalam
aspek hukum melainkan dalam spektrum yang luas. Dari segi kepada siapa
sikap adil itu harus ditujukan Al-qur’an memberi petunjuk bahwa sikap adil
dissamping kepada Allah SWT dan orang lain atau sesama makhluk juga kepada diri
sendiri.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Budaya akademik dalam pandangan Islam adalah suatu tradisi
atau kebiasaan yang berkembang dalam dunia Islam menyangkut persoalan keilmuan.
Atau dalam bahasa yang lebih sederhana adalah tradisi ilmiah yang dikembangkan
Islam. Di antara poin-poin pentingnya adalah pertama, tentang penghargaan
Al-quran terhadap orang-orang yang berilmu, di antaranya adalah:
1.
Wahyu
Al-quran yang turun pada masa awal mendorong manusia untuk memperoleh ilmu
pengetahuan.
2.
Tugas
Manusia sebagai khalifah Allah di Bumi akan sukses kalau memiliki ilmu
pengetahuan.
3.
Muslim
yang baik tidak pernah berhenti untuk menambah ilmu.
4.
Orang
yang berilmu akan dimuliakan oleh Allah SWT.
Di
samping memberikan apresiasi terhadap orang yang berilmu poin penting lain yang
dijelaskan Al-quran adalah bahwa:
1.
Iman
seorang muslim tidak akan kokoh kalau tidak ditopang dengan ilmu, demikian juga
dengan amal shalih.
2.
Tugas
kekhalifahan manusia tidak akan dapat sukses kalau tidak dilandasi dengan ilmu.
3.
Karakter
seorang muslim yang berbudaya akademik adalah; orang yang selalu mengingat
Allah yang disertai dengan ikhtiar untuk selalu menggunakan akalnya untuk
memikirkan ciptaan Allah SWT. Serta selalu berusaha menambah ilmu dengan
membuka diri terhadap setiap informasi yang baik dan kemudian memilih yang
terbaik untuk dijadikan pegangan dan diikutinya.
Budaya akademik akan dapat terwujud dengan syarat
sikap-sikap positif juga dimiliki. Di antara sikap positif yang harus dimiliki
adalah etos kerja yang tinggi, sikap terbuka dan berlaku adil. Arti penting
dari ketiga sikap tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
Untuk dapat meningkatkan etos kerja seorang muslim harus
terlebih dahulu memahami tugasnya sebagai manusia yaitu sebagai khalifah Allah
SWT di muka dan juga sebagai hamba yang berkewajiban untuk beribadah kepada
Allah SWT. Beberapa petunjuk Al-quran agar dapat meningkatkan etos kerja antara
lain;
1.
Mengatur
waktu dengan sebaik-baiknya.
2.
Bekerja
harus sesuai dengan bidangnya dan ini harus diberi catatan bahwa etos kerja
yang tinggi tidak boleh menjadikan orang tersebut lupa kepada Allah SWT.
Sikap positif selanjutnya adalah
sikap terbuka atau jujur; Seseorang tidak mungkin akan dapat meraih
keberhasilan dengan cara mempunyai etos kerja yang tinggi kalau tidak memiliki
sikap terbuka dan jujur. Karena orang yang tidak terbuka maka akan cenderung
menutup diri sehingga tidak dapat bekerja sama dengan yang lain. Apalagi kalau
tidak jujur maka energinya akan tersita untuk menutupi ketidakjujuran yang
dilakukan. Maka Al-quran dan Hadis memberi apresiasi yang tinggi terhadap orang
yang terbuka dan jujur.
Buah dari keterbukaan seseorang maka akan melahirkan sikap
adil. Makna adil yang diperkenalkan Al-quran bukan hanya dalam aspek hukum
melainkan dalam spektrum yang luas. Dari segi kepada siapa sikap adil itu harus
ditujukan Al-quran memberi petunjuk bahwa sikap adil di samping kepada Allah
SWT dan orang lain atau sesama makhluk juga kepada diri sendiri.
3.2
SARAN
Untuk menuntut dan mengamalkan budaya akademis, sikap etos
kerja, sikap terbuka, dan keadilan harus kita dasar dengan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah swt agar dapat memberikan jaminan kemaslahatan bagi
kehidupan serta lingkungan sekitar kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar