BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Terkait
dengan masalah bimbingan dan konseling, terdapat banyak ragam teori dan
pendekatan dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling, salah satunya
adalah teori konseling behavioral. Pendekatan behavioristik menjadi salah satu
pendekatan yang masih dominan dalam konseling dan psikoterapi. Perkembangan
pendekatan ini memiliki kontribusi besar dalam mencapai target konseling untuk
mencapai perubahan pikiran, perasaan dan perilaku. Teori ini menganggap pentingnya faktor belajar
pada manusia, di mana untuk memperoleh hasil belajar yang optimal diperlukan reinforcement
sehingga teori ini menekankan pada dua hal, dua hal penting yaitu learning
dan reinforcement serta tercapainya suatu perubahan perilaku (behavior).
Dalam perkembangan lebih lanjut teori ini dikenal dengan behavior therapy dalam
kelompok paham behaviorisme, yang dikembangkan melalui penelitian eksperimental
yang akan coba kami kupas satu persatu sehingga akan tampak sedikit kejelasan,
dengan harapan kupasan materi yang kami sajikan bermanfaat bagi kita semua yang
bergerak dalam dunia konseling yang diterapkan dalam praktik kebidanan.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1
Apa pengertian dari pendekatan
behavioristik?
1.2.2
Apa saja langkah-langkah yang dilakukan
dalam pendekatan behavioristik?
1.2.3
Apa saja teknik terapi perilaku dalam
pendekatan behavioristik?
1.2.4
Apa saja masalah yang berkaitan dengan pendekatan
behavioristik?
1.3
Tujuan
1.2.1
Mengetahui dan memahami pengertian dari
pendekatan behavioristik
1.2.2
Mengetahui, memahami, dan
mengaplikasikan langkah-langkah yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik
1.2.3
Mengetahui, memahami, dan
mengaplikasikan terapi perilaku dalam pendekatan behavioristik
1.2.4
Mampu mengetahui,memahami, dan menyelesaikan
masalah yang berkaitan dengan pendekatan behavioristik
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
2.1
Pengertian
dan Sejarah Pendekatan Behavioristik
Konseling merupakan sebuah upaya
pemberian bantuan dari seorang konselor kepada klien, bantuan di sini dalam
pengertian sebagai upaya membantu orang lain agar ia mampu tumbuh ke arah yang
dipilihnya sendiri, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya dan mampu
menghadapi krisis-krisis yang dialami dalam kehidupannya
(Yusuf&Juntika,2005:9).
Pengertian
konseling tidak dapat dipisahkan dengan bimbingan karena keduanya merupakan
sebuah keterkaitan. Muhamad Surya (1988:25) mengungkapkan bahwa konseling
merupakan bagian inti dari kegiatan bimbingan secara keseluruhan dan lebih
berkenaan dengan masalah individu secara Pribadi. Juntika (2003:15) mengutip
pengertian konseling dari ASCA (American School Conselor Assosiation ) sebagai
berikut : Konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh
dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien,
konselor mempergunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu kliennya
dalam mengatasi masalah-masalahnya.
Sedangkan
pengertian behavioral/ behaviorisme adalah satu pandangan teoritis yang
beranggapan, bahwa persoalan psikologi adalah tingkah laku, tanpa mengaitkan konsepsi-konsepsi
mengenai kesadaran dan mentalitas (JP.Chaplin, 2002:54).
Dari
pengertian koneling dan behaviorisme yang dipaparkan di atas kita dapat menarik
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan konseling behavioral adalah sebuah proses
konseling (bantuan) yang diberikan oleh konselor kepada klien
dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tingkah laku (behavioral), dalam
hal pemecahan masalah-masalah yang dihadapi serta dalam penentuan arah
kehidupan yang ingin dicapai oleh diri klien.
Aliran
ini pada mulanya tumbuh subur di Amerika dengan tokohnya yang terkenal ektrim,
yakni John Broadus Watson, suatu aliran yang menitikberatkan peranan
lingkungan, peranan dunia luar sebagai faktor penting dimna seseorang
dipengaruhi, seseorang belajar. Aliran ini memandang perkembangan seseorang
sebagai “seorang tumbuh menjadi seperti apa yang terbentuk oleh lingkungan” ( man grows to be what he is made to be by his
environment).
Menurut
Franks (1969) yang dikutip oleh masters (1987) ada tiga hal yang sangat
berpengaruh terhadap munculnya terapi perilaku, ialah:
a.
Hasil penelitian dan tulisan dari I.P.
Pavlov mengenai percobaan-percobaan dan hasilnya yang telah dilakukan dengan
mempergunakan hewan percobaannya (anjing), yang sekarang dikenal dengan
kondisioning klasik.
b.
Hasil penelitian dan tulisan dari E.L.
Thorndike mengenai proses belajar dengan hadiah yang menghasilkan hukum efek
dan sekarang dikenal dengan kondisioning aktif (operant) dan perilaku
instrumental.
c.
Hasil penulisan dan tulisan dari J.B.
Watson dengan rekan-rekannya yang mengamalkan teknik dasar dari apa yang telah
dilakukan oleh pavlov, diamalkan untuk menghadapi seseorang dengan kelainan
kejiwaan.
2.2
Terapi
Perilaku Pengubahan Perilaku Dan Psikoterapi
Sebagai salah satu teknik
psikoterapi, terapi perilaku relatif masih sangat muda, baru dipergunakan sejak
sekitar 30 tahun yang lalu. Menurut lazarus (1971, 1977), terminologi terapi
perilaku (behavior therapy) pertama kali dipakai oleh skinner, solomon,
lindsley dan richardss pada tahun 1953, namun setelah itu tidak dipergunakan
lagi. Pada tahun 1959, eysenck secara terpisah menggunakan terminologi ini.
Dalam kaitan dengan pengubahan perilaku (behavior modification), terdapat dua
pendapat mengenai terapi perilaku. Sekelompok ahli mengatakan bahwa keduanya
pada dasarnya sama saja (kanfer dan phillips, 1969, dalam masters, et al,1987),
namun kelompok lain (lazarus, 1971) mengatakan bahwa terapi perilaku biasanya
berhubungan dengan metode kondisioning yang berlawanan (counter conditioning) misalnya, desentisasi (pengebalan) sistematik
dan latihan asertif (assertive training),
sedangkan terapi pengubahan perilaku menitikberatkan pada prosedur “aktif” (operant conditioning). Di dalam
perkembangannya, terapi perilaku sebagai metode yang dipakai untuk mengubah
perilaku atau dalam arti umumnya sebagai salah satu tehnik psikoterapi, menurut
corey (1991) terdiri dari tiga tahap :
a.
Tahap pertama adalah tahap kondisioning
klasik pada perilaku yang baru, dihasilkan dari individu yang pasif.
Tokoh-tokoh
pada kelompok ini ialah: Skinner yang terkenal dengan bukunya: science and
human behavior (1952), ), a. Lazarus terkenal dengan behavior therapy and
beyond (1971) dan eysenck dengan behavior therapy and the neurosis (1962).
b.
Tahap kedua adalah tahap kondisioning
aktif (operant), dimana perubahan-perubahan di lingkungan yang terjadi akibat
sesuatu perilaku, bisa berfungsi sebagai penguat-ulang (reinforcer) agar
sesuatu perilaku bisa terus diperlihatkan, sehingga kemungkinan perilaku
tersebut akan diperlihatkan terus dan semakin diperkuat. Sebaliknya jika lingkungan
tidak menghasilkan sesuatu penguat-ulang, harapan untuk memperlihatkan kembali perilakunya berkurang.
Tokoh utama pada tahap kedua ini adalah skinner.
c.
Tahap ketiga adalah tahap kognitif.
Sebagaimana dketahui bahwa munculnya teerapi perilaku dengan ciri-ciri khas
yang bertentangan denga pendekatan psikoanalisis, psikodinamik, mengesampingkan
konsep berpikir, konsep sikap dan konep nilai, namun ternyata terjadi perubahan
pada sekitartahu 70-an ketika peranan berpikir (kognisi) diperhatikan dan ikut
berperan, baik dalam proses pemahaman maupun perlakuan terhadap pasien
(bandura, 1969, 1968; beck, 1976; beck and weishaar, 1989; goldfried and
davision, 1976; lazarus, 1971, 1981, 1989, london,1985; mahoney, 1977, 1979;
meichenbaum, 1977, 1985).
Menurut farnks (1987) yang dikutip
oleh corey (1991) bahwa terapi behavioristik sekarang berkembang sebagai bagian
dari aliran terapi perilaku. Terapi perilaku sekarang ini tidak lagi seperti
dulu yang secara eksklusif mendasarkana pada teori belajar, namun banyak konsep
baru dari hasil penelitian terhadap teknik-teknik pelaksanaan terapi perilaku.
Terapi perilaku yang tidak dibedakan dengan perubahan perilaku, dirumuskan oleh
Craighead, kazdin, mahoney (1976) (dalam corey, 1991), sebagai berikut :
a.
Penggunaan seperangkat prosedur klinis
secara luas yang deskripsi dan rasionalnya didasarkan pada hasil penelitian
psikologis dan eksperimental.
b.
Pendekatan analis-fungsional dan
eksperrimental terhadap data klinis, didasarkan pada hasil yang obyektif
melalui perhitungan-perhitungan.
Perumusan ini dengan
jelas menunjukkan bahwa terapi perilaku dan terapi pengubahan perilaku,
mendasarkan pada pendekatan analisis perilaku dan penerapannya. Suatu
pendekatan kuantitatif dan eksperimental terhadap gejala perilaku.
Karakteristik dari pendekatan
behavioristik sulit untuk dirumuskan, karena bidangnya sangat luas, sehingga
sulit untuk merumuskan hal – hal yang bersifat umum secara universal, namun
corey (1991) merumuskan karakteristik tersebut antara lain sebagai berikut :
a.
Terapi perilaku didasarkan pada hasil
eksperimen yang diperoleh dari pengalaman sistematik dasar – dasar teori
belajar untuk membantu seseorang mengubah perilaku malasuai.
b.
Terapi ini memusatkan terhadap masalah
yang dirasakan pasien sekarang ini dan terhadap faktor – faktor yang
mempengaruhi, sebagai sesuatu yang berlawanan, dimana ada hal – hal yang
menentukan dalam sejarah perkembangan seseorang.
c.
Terapi ini menitikberatkan perubahan
perilaku yang terlihat sebagai kriteria utama, sehingga memungkinkan melakukan
penilaian terhadapterapi meskipun proses kognitifnya tidak bisa diabaikan.
d.
Terapi perilaku merumuskan tujuan
terapi dalam terminologi kongkret dan
objektif, agar memungkinkan dilakukan intervensi untuk mengulang apa yang
pernah dilakukan.
e.
Terapi perilaku pada umumnya bersifat
pendidikan.
Terapi perilaku dengan demikian, tidak
hanya mengubah gejala perilakunya, namun akan terjadi perubahan pada
keseluruhan pribadinya, sehingga terapi perilaku dalam arti sempitnya adalah
juga psikoterapi.
Eysenck yang dikenal sebagai salah
seorang penentang yang gigih terhadap psikoanalisis, pada tahun 1959
menunjukkan sepuluh perbedaan antara psikoterapi dengan terapi perilaku, yakni:
No.
|
Psikoterapi
|
Terapi
perilaku
|
1.
|
Mendasarkan pada
teori yang tidak konsisten, tidak pernah dirumuskan dengan tepat dalam bentuk
yang pasti.
|
Mendasarkan pada
perumusan teori yang tepat dan konsisten yang dapat diuji secara deduktif
|
2.
|
Diperoleh dari
observasi klinis yang dibuat tanpa pengontrolan melalui observasi atau
eksperimen
|
Diperoleh dari hasil
studi eksperimental khususnya dibentuk untuk menguji teori dasar dan
deduksi-deduksinya.
|
3.
|
Menganggap gejala
sebagai perwujudan dari sebab-sebab yang tidak didasari
|
Menganggap gejala
sebagai respon terkondisi yang tidak sesuai
|
4.
|
Menganggap gejala sebagai
tanda adanya penekanan (represi)
|
Menganggap gejala
sebagai tanda adanya proses belajar yang salah
|
5.
|
Percaya bahwa
munculnya sesuatu gejala ditentukan oleh mekanisme pertahanan diri.
|
Percaya bahwa
munculnya suatu gejala ditentukan oleh perbedaanperorangan yang bisa
dikondisioningkan dan memiliki otonomi yang labil, sama halnya dengan suasana
lingkungan yang terjadi secara kebetulan.
|
6.
|
Semua perlakuan
terhadap pasien yang mengalami kelainan neurotik harus mendasarkan pada
sejarahnya.
|
Semua perlakuan terhadap
pasien yang mengalami kelainan neurotik, berhubungan dengan munculnya
kebiasaan pad waktu sekarang, sejarah perkembangan sebagian tidak relevan
|
7.
|
Kesembuhan diperoleh
dengan memperlakukan dinamika-dinamika yang mendasarinya, tidak dengan
memperlakukan gejala itu sendiri.
|
Kesembuhan diperoleh
dengan memperlakukan gejala itu sendiri, yakni dengan membuat respon
terkondisi tidak sesuai menjadi sesuatu yang menjenuhkan dan membentuk respon
yang terkondisi yang diharapkan.
|
8.
|
Interpretasi terhadap
gejala, mimpi, tindakan adalh elemen yag penting dalam terapi
|
Interpretasi, bahkan
jika tidak subyektif atau tidak melakukan kesalahan sekalipun, tidak relevan.
|
9.
|
Terapi terhadap
gejalanya justru menyebabkan munculnya gejala baru
|
Terapi terhadap
gejalanya menyebabkan kesembuhan secara menetap dengan adanya kemampuan
menghilangkan respon-respon yang berlebihan melalui proses penjenuhan dengan
sendirinya
|
10.
|
Transferens adalah
hal yang penting untuk kesembuhan pasien neurotik
|
Hubungan pribadi
tidak penting untuk menyembuhkan penderita neurotik, sekalipun hal ini bisa
berguna pada keadaan tertentu.
|
2.3
Pandangan
Terhadap Konsep Manusia
Pendekatan behavioristik mengganggap
perilaku seseorang dengan semua aspeknya sekarang ini adalah hasil dari proses
belajar dan hal ini diperoleh dalam interaksinya dengan dunia luar. Pendekatan
behavioristik sebagai teknik untuk mengubah sesuatu perilaku dengan model
manusia yang pasif dan dibuat mekanistik. Para ahli yang melakukan pendekatan
behavioristik, memandang manusia sebagai pemberi respons (responder), sebagai
hasil dari proses, sebagai hasil dari proses kondisioning yang telah terjadi.
Dutin dan george (1977), yang dikutip
oleh george dan cristiani (1981), mengemukakan pandangan behavioristik terhadap
konnsep manusia, yakni :
a.
Manusia dipandang sebagai individu yang
baik atau yang jahat,tapi sebagai individu yang selalu berada dalam keadaan
sedang mengalami, yang memiliki kemampuan untuk menjadi sesuatu pada semua
jennis perilaku.
b.
Manusia mampu mengkonseptualisasikan dan
mengontrol perilakunya sendiri.
c.
Manusia mampu memperoleh perilaku yang
baru.
d.
Manusia bisa mempengaruhi perilaku orang
lain sama halnya dengan perilakunya yang bisa dipengaruhi orang lain.
2.4
Tujuan
Terapi Perilaku
Tujuan umum dari suatu terapi perilaku ialah
membentuk kondisi baru untuk belajar, karena melalui proses belajar dapat
mengatasi masalah yang ada. Mengenai tujuan terapi perilaku, Corey mengingatkan
ada dua konsepsi yang salah, ialah:
a. Bahwa
tujuan terapi adalah memindahkan gejala yang menjadi masalah dan karena itu
akan muncul gejala baru, karena akar dari persoalannya tidak hilang
b. Konsepsi
lain yang salah ialah bahwa tujuan pasien atau klien, ditentukan atau
dipaksakan oleh terapisnya
Tujuan terapi perilaku dengan orientasi ke arah
kegiatan konseling, menurut George dan Cristiani (1981) adalah:
a. Mengubah
perilaku malasuai pada klien
b. Membantu
klien belajar dalam proses pengambilan keputusan secara lebih efisien
c. Mencegah
munculnya masalah dikemudian hari
d. Memecahkan
masalah perilaku khusus yang diminta klien
e. Mencapai
perubahan perilaku yang dapat dipakai dalam kegiatan kehidupannya.
2.5
Teknik
Terapi Perilaku
Timbulnya masalah perilaku karena ada
sesuatu gejala di dalam kepribadian seseorang yang mempengaruhi pribadinya,
sehingga menimbulkan berbagai kesulitan. Karena ada gejala tertentu,
mengakibatkan keadaan tidak seimbang dan lebih lanjut terjadi malasuai dengan
lingkungannya. Gejala perilaku yang menunjukkan adanya kekurangan, ditambah dan
sebaliknya gejala perilaku yang berlebihan dikurangi agar dicapai keadaan
seimbang, keadaan harmonis. Menambah, mengurangi atau mengubah gejala perilaku yang malasuai
atau yang patologis inilah tujuan utama dari pendekatan behvioristik dengan
mempergunakan berbagai teknik terapi perilaku. Dalam melakukan berbagai teknik
terapi perilaku, keadaan relaks yang dilakukan melalui berbagai prosedur
relaksasi, dianggap sebagai dasar penting yang harus dilakukan terlebih dahulu.
a. Relaksasi
Keadaan
relaks adalah keadaan dimana seseorang berada dalam keadaan tenang, dalam emosi
yang tenang. Untuk mencapai keadaan seperti ini diperlukan suaatu teknik
melalui berbagai prosedur antara lain prosedur aktif dan prosedur pasif.
Peranan teknik relaksasi sebagai dasar penting dalam
kegiatan terapeutik. Peranan teknik relaksasi yang berkaitan dengan terapi
perilaku, mulai dikembangkan sejak edmud jacobson mulai banyak penelitiannya
pada awal tahun 30-an. Jacobson menemukan jika seseorang berada dalam keadaan
relaks yang dalam, ia tidak akan memperlihatkan respon terkejut terhadap suara
keras. Pada tahun 1983, jacobson membuat teknik relaksasi yang disebut sebagai
teknik atau latihan relaksasi progresif untuk membawa seseorang sampai ke
keadaan relaks pada otot-ototnya. Jadi jika seseorang dapat mengurangi
ketegangan atau peregangan pada otot-ototnya, maka akan terjadi juga
pengurangan ketegangan atau kecemasan dan akibat-akibat lain karena keadaan
tersebut.
Pada waktu bersamaan, ketika jacobson mempergunakan
teknik aktifnya, yakni pada tahun 1932, seorang dokter di jerman bernama
johanes schultz, memperkenalkan teknik pasif agar seseorang dapat menguasai
munculnya emosi yang bergelora, yang dikenal sebagai latihan otogenik. Pasien
tidak lagi tergantung kepada terapisnya, tetapi melalui teknik sugesti-diri,
seseeorang dapat melakukan sendiri perubahan kefaalan di dalam dirinya sendiri,
juga bisa mengatur permunculan-permunculan dari emosinya pada tingkatan
maksimal yang dikehendaki.
Pada tahun 50-an, seorang tokoh aliran
behavioristik, bernama joseph wolpe, mempergunakan relaksi progresif sebagai dasar
untuk melakukan pengebalan sistematik. Teknik relaksasi yang dilakukan wolpe
ini adalah modifikasi dari tekniknya jacobson yang dianggap oleh wolpe memakan
waktu terlalu lama, sehingga ia memodifikasikan teknik yang lebih pendek, lebih
sederhana dan lebih mudah dilakukan . dalam perkembangannya lebih lanjut,
teknik latihan relaksasi progresif dipakai sebagai teknik tersendiri, jadi
tidak lagi sebagai bagian dari teknik terapi perilaku seperti misalnya,
pengebalan sistemik. Sebagai teknik yang dipakai tersendiri, latihan relaksasi
progresif dipakai untuk menghadapi pasien atau klien dengan masalah kecemasan
umum dan kronis, bahkan akhir-akhir ini bidanya menjadi lebih luas lagi dan
kepada para pasien tau klien, diajarkan untuk bisa melakukannya sendiri dengan
mempergunakan alat “biofeedback” agar pasien mengetahui saat-saat tercapainya
keadaan relaks.
b.
Pengebalan Sistematik
Pengebalan
sistematik diperkenalkan oleh Wolpe pada sekitar tahun 1968, namun dasar
klinisnya sebenarnya berakar dari penelitian yang dilakukan oleh Mary Cover
Jones pada tahun 1924. Jones meneliti mengenai berkurangnya perasaan takut
terhadap hal-hal kecil seperti perasaan takut terhadap kelinci. Dasar ini yang
kemudian dipakai dalam penelitan-penelitian lebih lanjut dan yang ditulis dalam
bukunya yang terkenal yakni: Psychotherapy
by Recriprocal Inhibition, pada tahun 1958.
Pada sekitar tahun 50-an Wolpe melakukan penelitian
lagi dengan menggunakan obyek kucing. Kucing yang diberikan makan bila
dirangsang bunyi dan dilakukan kejutan listrik maka akan timbul respon takut.
Pada percobaan lain Wolpe memberikan makanan pada saat kucing mendengar bunyi
sehingga timbul respon positif. Pada saat proses kondisioning Wolpe mengulangi
percobaan awalnya tadi. Adanya rangsang positif dan negatif menimbulkan situasi
konflik yang dinamakan “neurosis eksperimental” dan efek lain yang terjadi
adalah menghilangkan atau menghambat keinginan.
Wolpe melanjutkan penelitiannya yakni dengan
menempatkan kucing pada kurungan lain baik yang menyerupai kurungannya sendiri
maupun tidak secara bertahap sampai kucing tidak merasa ketakutan. Teknik
pemberian rangsang secara bertahap ini lah yang dinamakan “sistematik”. Dimulai
dari hal yang masih bisa diterima, tidak menimbulkan kegoncangan atau perasaan
takut, cemas, kemudian rangsangannya ditingkatkan secara bertahap, sampai ke
rangsang yang seandainya diterima sekaligus, akan menimbulkan reaksi negatif.
Wolpe mengatakan hal ini sebagai kondisioning yang bertentangan (counterconditioning) dan ia yakin kalau
hal ini dapat terjadi pada hewan percobaannya, maka hal seperti ini juga dapat
terjadi pada manusia. Sebagai rangsang yang dapat menghambat munculnya perasaan
takut pada manusia adalah keadaan relaks, namun karena keadaan relaks yang
diperoleh melalui relaksasi model Jacobson membutuhkan waktu yang lama oleh
karena itu dirubah enam sampai sepuluh pertemuan. Selain relaksasi, Wolpe
memakai teknik imajinasi (pembentukan gambaran) untuk mengganti hal-hal yang
nyata dan yang terbukti dapat mengurangi ketakutan. Relaksasi dan imajinasi
merupakan kondisioning yang bertentangan (counterconditioning). Wolpe
menggunakan istilah “reciprocal
inhibition” dan antara keduanya ada sedikit perbedaan yaitu dasar dari
teknik pengebalan sistemik, khususnya teknik Wolpe. Modifikasi teknik menjadi
objek penelitian yang dikemukakan Goldfriend & Goldfriend [1977] yaitu
pengebalan melalui penguatan diri [self-controlled
desentization]. Teknik yang
digolongkan teknik pengebalan adalah teknik penjenuhan [extinction], yakni apabila rangsang yang menimbulkan rasa takut
atau cemas, diberikan terus-menerus tanpa menimbulkan akibat yang negatif pada
responnya, kecuali keadaan jenuh menimbulkan perasaan takut atau cemas dan
proses pembiasaan [habituation] juga
menimbulkan efek yang sama. Perbedaan dari keduanya terletak pada penggunaannya
secara teknis. Menurut Levin & Gross [1985], pada pengebalan untuk respons
terkondisioning [conditioned response],
sedangkan pembiasaan [habituation]
untuk respons tidak terkondisioning [unconditioned
response].
Prosedur
pelaksanaan teknik tradisional pengebalan sistemik adalah:
1)
Melatih atau mengajarkan cara latihan
relaksasi progresif.
2)
Menyusun faktor-faktor secara hierarkis
dari yang paling tidak menimbulkan ketakutan atau kecemasan sampai yang paling
menimbulkan ketakutan.
3)
Menghadapkan faktor-faktor tersebut
secara hierarkis sambil membawa pasien atau klien dalam keadaan relaks.
Teknik pengebalan sistemik tidak hanya untuk
menghadapi pasien yang menderita fobia, tetapi untuk ansietas, depresi, obsesi,
kompulsi, anorexia nervosa [tidak mau
makan] dan gagap.
c. Latihan
Asertif
Latihan
asertif (assertive training) atau latihan keterampilan sosial (social skills
training) adalah salah satu dari sekian banyak topic yang tergolong popular
dalam terapi perilaku. Untuk menjelaskan arti perkataan asertif, dapat
dilakukan melalui uraian pengertian perilaku asertif (assertive behavior).
Perilaku asertif adalah perilaku antar perorangan (interpersonal) yang
melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku asertif
ditandai oleh kesesuaian sosial dan seseorang yang berperilaku asertif
mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain. Menurut Christeff dan
Kelly (1985), ada tiga kategori perilaku asertif yakni:
1) Asertif
penolakan. Ditandai oleh ucapan untuk meperhalus seperti : maaf!
2) Asertif
pujian. Ditandai oleh kemampuan untuk mengekspresikan perasaan positif seperti
menghargai, menyukai, mencintai, mengagumi, memuji dan bersyukur.
3) Asertif
permintaan. Jenis asertif ini terjadi kalau seseorang meminta orang lain
melakukan sesuatu yang memungkinkan kebutuhan atau tujuan seseorang tercapai,
tanpa tekanan atau paksaan. Dari uraian ini terlihat bahwa perilaku asertif
adalah perilaku yang menunjukkan adanya keterampilan untuk bisa menyesuaikan
dalam hubungan interpersonal, dalam lingkungan sosial.
Menurut Alberti (1977)
salah seorang tokoh yang banyak menulis mengani perilaku asertif, latihan
asertif (atau terapi perilaku asertif, atau latihan keterampilan sosial) adalah
prosedur latihan yang diberikan kepada klien untuk melatih perilaku penyesuaian
sosial melalui ekspresi diri dari perasaan, sikap, harapan, pendapat, dan
haknya. Prosedurnya adalah :
1) Latihan
keterampilan, perilaku verbal maupun nonverbal diajarkan, dilatih, dan
diintergrasikan ke dalam rangkaian perilaunya. Teknik untuk melakukan hal ini
adalah : peniruan dengan contoh (modeling), umpan balik secara sistematik,
tugas pekerjaan rumah.
2) Mengurangi
kecemasan, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung sebagai hasil
tambahan dari latiahn keterampilan. Teknik untuk melakukan hal ini antara lain
dengan pendekatan tradisional untuk pengebalan, baik melalui imajinasi maupun
keadaan actual.
3) Menstruktur
kembali aspek kognitif, dimana nilai-nilai, kepercayaan, sikap yang membatasi
ekspresi diri pada klien, diubah oleh pemahaman untuk melakukan hal ini
meliputi penyajian sosial, uraian nilai-nilai dan pengambilan keputusan.
Pada umumnya teknik untuk melakukan
latihan asertif, mendasarkan pada prosedur belajar dalam diri seseorang yang
perlu diubah, diperbaiki, dan diperbarui. Masters, et al (1987) mengemukakan
bahwa teknik yang banyak digunakan untuk latihan asertif adalah latihan
berperilaku (behavioral rehearsal)
yaitu melakukan atau melatih sesuatu tindakan yang cocok dan efektif untuk
menghadapi kehidupan nyata yang menimbulkan persoalan pada pasien atau
klien. Karena itu latihan ini juga dapat
digunakan oleh kelompok. Jadi tujuan dari latihan ini adalah agar seseorang
belajar bagaimana mengganti sesuatu respons yang tidak sesuai, dengan respons
yang baru, yang sesuai.
Latihan asertif menurut corey (1991), bisa
bermanfaat untuk dipergunakan dalam menghadapi mereka yang :
1)
Tidak bisa mengekspresikan kemarahan
atau perasaannnya yang tersinggung.
2)
Mengalami kesulitan untuk mengatakan
“tidak”.
3)
Terlalu halus (sopam) yang membiarkan
orang lain mengambil keuntungan dari keadaannya.
4)
Mengalami kesulitan untuk
mengekspresikan afeksi (perasaan yang kuat) dan respons-respons lain yang
positif.
5)
Merasa tidak memiliki hak untuk
mengekspresikan pikiran, kepercayaan, dan perasaannya.
d. Peniruan
Melalui Penokohan (Modeling)
Penggunaan
teknik penokohan dalam terapi perilaku, telah dimulai pada akhir tahun 50-an,
meliputi tokoh yang nyata, tokoh yang dilihat melalui film atau tokoh dalam
imainasi (imajiner). Ada beberapa istilah yang muncul sehubungan dengan
prosedur penokohan ini, ialah : penokohan (modeling),
peniruan (imitation), dan belajar
melalui pengamatan (observational
learning). Istilah penokohan ini merupakan istilah umum untuk menunjukkan
terjadinya proses belajar melalui pengamatan dari orang lain dan perubahan yang
terjadi karenanya melalui peniruan. Peniruan (imitation) dalam arti khusus menunjukkan bahwa perilaku orang lain
yang idamati, yang ditiru, lebih merupakan peniruan dan bukan mengenai perilaku
secara umum sebagai tokoh dengan dasar perilakunya. Pada proses belajar melalui
pengamatan menunjukkan terjadinya proses belajar setelah mengamati perilaku
pada orang lain.
Pengaruh peniruan melalui penokohan
(modeling), menurut Bandura (yang dikutip oleh corey, 1991) ada tiga hal, yakni
:
1)
Pengambilan respons atau keterampilan
baru dan memperlihatkan dalam perilakunya setelah memadukan apa yang diperoleh
dari pengamatannya dengan pola perilaku yang baru. Contohnya : bahasa pada anak
dengan penyimpangan perilaku yang tadinya tidak mau berbicara, kemudian mau
lebih banyak berbicara.
2)
Hilangnya respons takut setelah melihat
tokoh (sebagai model) melakukan sesuatu yang oleh si pengamat menimbulkan
perasaan takut, namun pada tokoh yang
dilihatnya tidak berakibat apa-apa tau akibatnya bahkan positif. Contoh : tokoh
yang bermain-main dengan ular dan ternyata ia tidak digigit.
3)
Pengambilan sesuatu respons dari
respon-respon yang diperlihatkan oleh tokoh yang memberikan jalan untuk ditiru.
Melalui pengamatan terhadap tokoh, seseorang terdorong untuk melakukan sesuatu
yang mungkin sudah diketahui atau dipelajari dan ternyata tidak ada hambatan.
Contoh : remaja yang berbicara mengenai sesuatu mode pakaian di televisi.
Macam-macam penokohan menururt corey (1991) adalah :
1) Penokohan
yang nyata (live model). Contohnya
adalah terapis yang dijadikan model oleh pasien atau kliennya, atau guru,
anggota keluarga atau tokoh lain yang dikagumi.
2) Penokohan
yang simbolik (symbolic model) adalah
tokoh yang dilihat melalui tokoh film, video, atau media lain. Contohnya :
seseorang penderita neurosis yang melihat tokoh dalam film dapat mengalami
masalahnya dan kemudian ditirunya.
3) Penokohan
ganda (multiple model) yang terjadi
dalam kelompok. Seorang anggota dari sesuatu kelompok mengubah sikap dan
mempelajari sesuatu sikap baru, setelah mengamati bagaimana anggota-anggota
lain dalam kelompoknya bersikap.
Teknik peniruan melalaui penokohan dapat
dipakai untuk menghadapi pasien atau klien yang menderita fobia, penderita
ketergantungan atau kecanduan obat-obatan atau alcohol, bahkan dapat dipakai
untuk menghadapi penderita dengan gangguan kepribadian yang berat untuk
memperoleh keterampialn untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Juga
dapat dipergunakan dalam menghadapi anak dengan fobia tertentu seperti fobia
terhadap dokter gigi, atau anak-anak yang mengalami hambatan dalam pergaluan.
e. Penguasaan
Diri (Self Control)
Melalui
pendekatan penguasaan diri, pasien atau klien dimungkinkan memilki pegangan
untuk menghadapi masalah. pendekatan ini berlawanan dengan pendekatan yang
mempergunakan proses kondisioning pasif, jadi sebaliknya mempergunakan dasar
proses kondisioning aktif (operant).
Masalah-masalah pada penguasaan diri,
menurut Kanfer dan Phillips (1970) ada dua kategori, yakni :
1)
Pasien atau klien terlibat dalam pola
perilaku yang merugikan (merusak) diri sendiri seperti misalnya orang yang
terlalu lahap makan, berlebihand alam merokok, meminum minuman keras atau
ketergantungan pada obat-obatan dan perilaku seks bebas yang berlebihan.
2)
Pasien atau klien menderita karena
terlalu sedikit memperlihatkan perilaku yang sesuai, misalnya, masalah belajar
pada pelajaran, jarang membantu orang lain, gagal untuk memprakarsai kontak
sosial dan seksualitas yang pasif.
Mengenai pelaksanaan penguasaan diri, Masters, et al
(1987) memberikan beberapa dasar sebagai berikut :
1)
Penguasaan diri tidak ada kaitan dengan
dorongan untuk menghendaki sesuatu (willpower), melainkan sesuatu yang muncul
dalam kaitan dengan sesuatu yang akan dilakukan akibat yang akan terjadi, serta
terbentuk melalui proses belajar.
2)
Pasien atau klien harus menyadari akan
pentingnya pemeriksaan diri, bagaimana seseorang terlibat dalam perilaku
tersebut dan acap kali terjadi reaksi dalam bentuk pengamatan diri.
3)
Pasien atau klien harus megambil
keuntungan dari fakta bahwa perilakunya dibawah penguasaan rangsangan dengan
mempergunakan salah satu dari beberapa cara :
a) Fisik
mengubah lingkungan perangsangnya.
b) mempersempit
luasnya perangsangan yang menimbulkan perilaku yang tidak diinginkan.
c) Memperkuat
hubungan antara perorangan tertentu dan perilaku yang diinginkan.
d) Pasien
atau klien harus menentukan respons-respons
mana yang bertentangan yang menghambat perilaku yang diinginkan, untuk
diperlemah. Sebaliknya respon-respon yang memungkinkan munculnya perilaku yang
tidak diinginkan, diperkuat (agar tidak muncul).
e) Pasien
atau klien harus berusaha untuk memotong rangkaian respons yang mengarah ke
respons yang tidak diinginkan seawall mungkin.
f) Pasien
atau klien harus mengatur sendiri hadiah-hadiah segera setelah berlangsung
respons yang sesuai.
g) Sasaran
perilaku pada program peguasaan diri, harus mudah dicapai secra bertahap.
h) Kontrak
untuk berperilaku tertentu merupakan faktor penting pada program penguasaan
diri.
Mengenai penguasaan diri ini, corey
(1991) mempergunakan istilah mengatur diri (self
management) yang meliputi pemantauan diri (self monitoring), memberi hadiah terhadap diri sendiri (self reward), kontrak atau perjanjian
dengan diri sendiri (self controlling)
dan penguasaan terhadap rangsangan (stimulus
control) dan diamalkan untuk menghadapi penderita ansietas, depresi, rasa
nyeri, dan perilaku-perilaku seperti ketergantungan pada minuman keras, makan
yang tidak terkendali dan yang berhubungan dengan kebiasaan belajar.
BAB
III
PEMBAHASAN
Skenario
Film Pendek Pendekatan Behavioristik
Pemeran 1 : Eko
Pemeran 2 : Andi
Pemeran tambahan : Dea dan Icha
Setting :
Perpustakaan kampus
1.
Hari ke-1
Pada suatu hari Eko berada di
perpustakaan. Dia berniat untuk belajar. Setelah menemukan buku yang hendak dia
pelajari Eko duduk dengan santai sambil membaca buku tersebut. Beberapa menit
kemudian Andi datang menghampiri Eko di mejanya.
Andi :
eh lo Eko kan? Kok jarang kelihatan? Lo sekali-sekali ngumpul dong sama
temen-temen. Lo ngapain sih ini?
Eko :
Ahh ini lagi baca-baca.
Andi :
Alah ngapain sih belajar-belajar segala. Masih musim apa. Lo tu jangan
gini-gini aja dong. Udah mending yuk kita nongkrong aja disana tuh sama
temen-temen yang lain.
Eko :
Enggak deh gue disini aja, masih belum kelar belajarnya
Andi :
Hah yakin lo nggak pengen kesana? Ah nggak asik lo.
Eko :
Iya gue disini aja.
Andi : Ah yaudah deh kalo gitu gue duluan
ya? Lo kalo mau gabung kesana aja.
Eko : Iya
2.
Hari ke-2
Seperti
biasanya setiap kali ada waktu luang Eko selalu menyempatkan membaca buku di
perpustakaan kampusnya. dia masih tetap saja menikmati kegiatan rutinnya itu.
Sehingga membuat dia jarang bahkan hampir tidak pernah sempat untuk berkumpul
bersama teman-temannya. Teman-teman Eko yang duduk di depannya bahkan tidak
mengenalinya karena Eko kurang bergaul dengan mereka. Kemudian Andi datang
menghampiri mereka.
Andi : Eh,
lo kok masih aja belajar sih. Harusnya lo tu refreshing nongkrong sama
anak-anak ni.
Eko : iya nih.
Andi : Eh lo kok nggak ngajak ngobrol Eko
sih, ini temen sekelas kita masa lo nggak kenal sih?
Dea : Oh iya ya? Dia sekelas sama kita?
Nggak pernah lihat gue. Diem mulu sih lo. Ke kantin dong lo jangan diem mulu.
Icha : Iya nih nggak pernah lihat gue.
Andi : Eh
yaudah yuk jalan yuk. Udah semua kan nih belajarnya? Nongkrong dulu yuk.
Dea : Ayok udah kok.
Icha : Yaudah ayok berangkat. Eh lo ikutan
dong Ko.
Andi : Iya ayo dong Ko.
Eko : Iya ntar aja deh. Belum selesai
belajarnya nih.
Dea : Ah elo ngapain sih belajar mulu. Ayo
dong nongkrong bareng kita.
Eko : Enggak deh
Andi : Yaudah ntar lo nyusul ya.
2
jam kemudian
Andi menghampiri Eko lagi di
perpustakaan karena Eko tidak juga menyusulnya di kantin. Kemudian dia mengajak
Eko ngobrol sebentar. Andi meminta bantuan Eko untuk memperbaiki handphone nya
yang eror. Akhirnya atas bantuan Eko handphone Andi bisa digunakan lagi.
Kemudian Andi menawari Eko lagi untuk berkumpul dengan teman-teman yang lain.
Eko masih saja menolak tawaran itu.
Andi : Ko, kok lo nggak nyusul sih tadi?
Eko : Iya ini gue belum selesai
belajarnya. Belum habis nih yang gue baca.
Andi : Ah emang harus nyampek selesai ya?
Yaelah lo tuh.
Eko : Iya pengen selesai dulu nih.
Andi : Eh lo bisa benerin handphone android
nggak? Nih puny ague kok nggak bisa ya dibuka ya?
Eko : Oh ini, coba sini. Ini sih tinggal
diginiin aja. Nih coba udah bisa belum?
Andi : Eh iya bener. Canggih lo. Makasih ya.
Eko : Iya sama-sama.
Andi : Eh
gue mau nyamperin anak-anak lagi nih. Yakin lo ngga mau ikut?
Eko : Besok aja deh
Andi : Besok? Yaudah deh terserah lo
3.
Hari ke-3
Andi
berada di perpustakaan. Eko menghampiri Andi. Andi ternyata sedang membaca buku
untuk mencari cara memperbaiki handphone nya. Handphone Andi tidak bisa
digunakan lagi seperti kemarin. Kemudian Eko membantu Andi. Akhirnya setelah
diperbaiki Eko handphone Andi bisa digunakan lagi. Ketika Andi mengajak Eko
untuk ke kantin berkumpul dengan teman-temannya ternyata Eko bersedia. Eko
mulai berubah. Kini Eko pun bisa bergaul dengan teman-temannya.
Eko : Eh lo kok disini tumben nggak
nongkrong?
Andi : Iya nih gue lagi baca-baca buku. Ini
nih Handphone gue nggak bisa lagi jdi gue nyari cara-cara nya disini.
Eko : Coba lihat sini. Oh ini gini cara
nya. Tuh cobain udah bisa tuh.
Andi : Eh iya udah bisa. Hebat lo. Makasih
ya.
Eko : Iya sama-sama. Eh lo nggak
nongkrong.
Andi : Iya nih mau kesana. Ayo lo juga kesana
dong.
Eko : Yaudah ayo gue ikutan. Udah ni tutup
dulu aja bukunya.
Andi : Nah gitu dong sekali-sekali gabung.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Pendekatan
dalam layanan konseling merupakan suatu strategi untuk memberikan intervensi
kepada konseli. Tujuan yang akan dicapai adalah perubahan pada konseli yang
memungkinkan konseli untuk dapat menerima diri (self-acceptance),
memahami diri (self-understanding), menyadari diri (self-awareness),
mengarahkan diri (self-directing), dan aktualisasi diri (self-actualitation).
Dalam proses konseling, dimensi perubahan merupakan tujuan yang akan dicapai
oleh konseli-konselor. Banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan pendekatan
dalam konseling, diantaranya adalah karakteristik personal (konseli),
karakteristik problem, hingga pada tujuan yang hendak dicapai.
Behavioristik
merupakan salah satu pendekatan teoritis dan praktis mengenai model pengubahan
perilaku konseli dalam proses konseling dan psikoterapi. Pendekatan
behavioristik yang memiliki ciri khas pada makna belajar, conditioning yang
dirangkai dengan reinforcement menjadi pola efektif dalam mengubah
perilaku konseli. Pandangan deterministik behavioristik merupakan elemen yang
tidak dapat di hilangkan. Namun pada perkembangan behavioristik kontemporer,
pengakuan pada manusia berada pada tingkat yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan awal-awal munculnya teori ini.
Pendekatan
behavioristik menekankan pentingnya lingkungan dalam proses pembentukan
perilaku. Pendekatan ini bertujuan untuk menghilangkan tingkah laku salah suai,
tidak sekedar mengganti simptom yang dimanifestasikan dalam tingkah laku
tertentu. Dengan pendekatan behavior, diharapkan konseli memiliki tingkah laku
baru yang terbentuk melalui proses conditioning, hilangnya simptom dan mampu
merespon terhadap stimulus yang dihadapi tanpa menimbulkan masalah baru.
4.2
Saran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar