Selasa, 16 Juni 2015

Pendekatan Behavioristik



BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
                    Terkait dengan masalah bimbingan dan konseling, terdapat banyak ragam teori dan pendekatan dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling, salah satunya adalah teori konseling behavioral. Pendekatan behavioristik menjadi salah satu pendekatan yang masih dominan dalam konseling dan psikoterapi. Perkembangan pendekatan ini memiliki kontribusi besar dalam mencapai target konseling untuk mencapai perubahan pikiran, perasaan dan perilaku.  Teori ini menganggap pentingnya faktor belajar pada manusia, di mana untuk memperoleh hasil belajar yang optimal diperlukan reinforcement sehingga teori ini menekankan pada dua hal, dua hal penting yaitu learning dan reinforcement serta tercapainya suatu perubahan perilaku (behavior). Dalam perkembangan lebih lanjut teori ini dikenal dengan behavior therapy dalam kelompok paham behaviorisme, yang dikembangkan melalui penelitian eksperimental yang akan coba kami kupas satu persatu sehingga akan tampak sedikit kejelasan, dengan harapan kupasan materi yang kami sajikan bermanfaat bagi kita semua yang bergerak dalam dunia konseling yang diterapkan dalam praktik kebidanan.

1.2        Rumusan Masalah
1.2.1        Apa pengertian dari pendekatan behavioristik?
1.2.2        Apa saja langkah-langkah yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik?
1.2.3        Apa saja teknik terapi perilaku dalam pendekatan behavioristik?
1.2.4        Apa saja masalah yang berkaitan dengan pendekatan behavioristik?

1.3        Tujuan
1.2.1        Mengetahui dan memahami pengertian dari pendekatan behavioristik
1.2.2        Mengetahui, memahami, dan mengaplikasikan langkah-langkah yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik
1.2.3        Mengetahui, memahami, dan mengaplikasikan terapi perilaku dalam pendekatan behavioristik
1.2.4        Mampu mengetahui,memahami, dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pendekatan behavioristik




























BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1        Pengertian dan Sejarah Pendekatan Behavioristik
Konseling merupakan sebuah upaya pemberian bantuan dari seorang konselor kepada klien, bantuan di sini dalam pengertian sebagai upaya membantu orang lain agar ia mampu tumbuh ke arah yang dipilihnya sendiri, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya dan mampu menghadapi krisis-krisis yang dialami dalam kehidupannya (Yusuf&Juntika,2005:9).
Pengertian konseling tidak dapat dipisahkan dengan bimbingan karena keduanya merupakan sebuah keterkaitan. Muhamad Surya (1988:25) mengungkapkan bahwa konseling merupakan bagian inti dari kegiatan bimbingan secara keseluruhan dan lebih berkenaan dengan masalah individu secara Pribadi. Juntika (2003:15) mengutip pengertian konseling dari ASCA (American School Conselor Assosiation ) sebagai berikut : Konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien, konselor mempergunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu kliennya dalam mengatasi masalah-masalahnya.
Sedangkan pengertian behavioral/ behaviorisme adalah satu pandangan teoritis yang beranggapan, bahwa persoalan psikologi adalah tingkah laku, tanpa mengaitkan konsepsi-konsepsi mengenai kesadaran dan mentalitas (JP.Chaplin, 2002:54).
Dari pengertian koneling dan behaviorisme yang dipaparkan di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan konseling behavioral adalah sebuah proses konseling (bantuan) yang diberikan oleh konselor kepada klien dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tingkah laku (behavioral), dalam hal pemecahan masalah-masalah yang dihadapi serta dalam penentuan arah kehidupan yang ingin dicapai oleh diri klien.
Aliran ini pada mulanya tumbuh subur di Amerika dengan tokohnya yang terkenal ektrim, yakni John Broadus Watson, suatu aliran yang menitikberatkan peranan lingkungan, peranan dunia luar sebagai faktor penting dimna seseorang dipengaruhi, seseorang belajar. Aliran ini memandang perkembangan seseorang sebagai “seorang tumbuh menjadi seperti apa yang terbentuk oleh lingkungan” ( man grows to be what he is made to be by his environment).
Menurut Franks (1969) yang dikutip oleh masters (1987) ada tiga hal yang sangat berpengaruh terhadap munculnya terapi perilaku, ialah:
a.             Hasil penelitian dan tulisan dari I.P. Pavlov mengenai percobaan-percobaan dan hasilnya yang telah dilakukan dengan mempergunakan hewan percobaannya (anjing), yang sekarang dikenal dengan kondisioning klasik.
b.             Hasil penelitian dan tulisan dari E.L. Thorndike mengenai proses belajar dengan hadiah yang menghasilkan hukum efek dan sekarang dikenal dengan kondisioning aktif (operant) dan perilaku instrumental.
c.             Hasil penulisan dan tulisan dari J.B. Watson dengan rekan-rekannya yang mengamalkan teknik dasar dari apa yang telah dilakukan oleh pavlov, diamalkan untuk menghadapi seseorang dengan kelainan kejiwaan.
2.2        Terapi Perilaku Pengubahan Perilaku Dan Psikoterapi
Sebagai salah satu teknik psikoterapi, terapi perilaku relatif masih sangat muda, baru dipergunakan sejak sekitar 30 tahun yang lalu. Menurut lazarus (1971, 1977), terminologi terapi perilaku (behavior therapy) pertama kali dipakai oleh skinner, solomon, lindsley dan richardss pada tahun 1953, namun setelah itu tidak dipergunakan lagi. Pada tahun 1959, eysenck secara terpisah menggunakan terminologi ini. Dalam kaitan dengan pengubahan perilaku (behavior modification), terdapat dua pendapat mengenai terapi perilaku. Sekelompok ahli mengatakan bahwa keduanya pada dasarnya sama saja (kanfer dan phillips, 1969, dalam masters, et al,1987), namun kelompok lain (lazarus, 1971) mengatakan bahwa terapi perilaku biasanya berhubungan dengan metode kondisioning yang berlawanan (counter conditioning) misalnya, desentisasi (pengebalan) sistematik dan latihan asertif (assertive training), sedangkan terapi pengubahan perilaku menitikberatkan pada prosedur “aktif” (operant conditioning). Di dalam perkembangannya, terapi perilaku sebagai metode yang dipakai untuk mengubah perilaku atau dalam arti umumnya sebagai salah satu tehnik psikoterapi, menurut corey (1991) terdiri dari tiga tahap :
a.          Tahap pertama adalah tahap kondisioning klasik pada perilaku yang baru, dihasilkan dari individu yang pasif.
        Tokoh-tokoh pada kelompok ini ialah: Skinner yang terkenal dengan bukunya: science and human behavior (1952), ), a. Lazarus terkenal dengan behavior therapy and beyond (1971) dan eysenck dengan behavior therapy and the neurosis (1962).
b.         Tahap kedua adalah tahap kondisioning aktif (operant), dimana perubahan-perubahan di lingkungan yang terjadi akibat sesuatu perilaku, bisa berfungsi sebagai penguat-ulang (reinforcer) agar sesuatu perilaku bisa terus diperlihatkan, sehingga kemungkinan perilaku tersebut akan diperlihatkan terus dan semakin diperkuat. Sebaliknya jika lingkungan tidak menghasilkan sesuatu penguat-ulang, harapan untuk  memperlihatkan kembali perilakunya berkurang. Tokoh utama pada tahap kedua ini adalah skinner.
c.          Tahap ketiga adalah tahap kognitif. Sebagaimana dketahui bahwa munculnya teerapi perilaku dengan ciri-ciri khas yang bertentangan denga pendekatan psikoanalisis, psikodinamik, mengesampingkan konsep berpikir, konsep sikap dan konep nilai, namun ternyata terjadi perubahan pada sekitartahu 70-an ketika peranan berpikir (kognisi) diperhatikan dan ikut berperan, baik dalam proses pemahaman maupun perlakuan terhadap pasien (bandura, 1969, 1968; beck, 1976; beck and weishaar, 1989; goldfried and davision, 1976; lazarus, 1971, 1981, 1989, london,1985; mahoney, 1977, 1979; meichenbaum, 1977, 1985).

Menurut farnks (1987) yang dikutip oleh corey (1991) bahwa terapi behavioristik sekarang berkembang sebagai bagian dari aliran terapi perilaku. Terapi perilaku sekarang ini tidak lagi seperti dulu yang secara eksklusif mendasarkana pada teori belajar, namun banyak konsep baru dari hasil penelitian terhadap teknik-teknik pelaksanaan terapi perilaku. Terapi perilaku yang tidak dibedakan dengan perubahan perilaku, dirumuskan oleh Craighead, kazdin, mahoney (1976) (dalam corey, 1991), sebagai berikut :
a.          Penggunaan seperangkat prosedur klinis secara luas yang deskripsi dan rasionalnya didasarkan pada hasil penelitian psikologis dan eksperimental.
b.         Pendekatan analis-fungsional dan eksperrimental terhadap data klinis, didasarkan pada hasil yang obyektif melalui perhitungan-perhitungan.
Perumusan ini dengan jelas menunjukkan bahwa terapi perilaku dan terapi pengubahan perilaku, mendasarkan pada pendekatan analisis perilaku dan penerapannya. Suatu pendekatan kuantitatif dan eksperimental terhadap gejala perilaku.
Karakteristik dari pendekatan behavioristik sulit untuk dirumuskan, karena bidangnya sangat luas, sehingga sulit untuk merumuskan hal – hal yang bersifat umum secara universal, namun corey (1991) merumuskan karakteristik tersebut antara lain sebagai berikut :
a.          Terapi perilaku didasarkan pada hasil eksperimen yang diperoleh dari pengalaman sistematik dasar – dasar teori belajar untuk membantu seseorang mengubah perilaku malasuai.
b.         Terapi ini memusatkan terhadap masalah yang dirasakan pasien sekarang ini dan terhadap faktor – faktor yang mempengaruhi, sebagai sesuatu yang berlawanan, dimana ada hal – hal yang menentukan dalam sejarah perkembangan seseorang.
c.          Terapi ini menitikberatkan perubahan perilaku yang terlihat sebagai kriteria utama, sehingga memungkinkan melakukan penilaian terhadapterapi meskipun proses kognitifnya tidak bisa diabaikan.
d.         Terapi perilaku merumuskan tujuan terapi  dalam terminologi kongkret dan objektif, agar memungkinkan dilakukan intervensi untuk mengulang apa yang pernah dilakukan.
e.          Terapi perilaku pada umumnya bersifat pendidikan.
Terapi perilaku dengan demikian, tidak hanya mengubah gejala perilakunya, namun akan terjadi perubahan pada keseluruhan pribadinya, sehingga terapi perilaku dalam arti sempitnya adalah juga psikoterapi.
Eysenck yang dikenal sebagai salah seorang penentang yang gigih terhadap psikoanalisis, pada tahun 1959 menunjukkan sepuluh perbedaan antara psikoterapi dengan terapi perilaku, yakni:
No.
Psikoterapi
Terapi perilaku
1.
Mendasarkan pada teori yang tidak konsisten, tidak pernah dirumuskan dengan tepat dalam bentuk yang pasti.
Mendasarkan pada perumusan teori yang tepat dan konsisten yang dapat diuji secara deduktif
2.
Diperoleh dari observasi klinis yang dibuat tanpa pengontrolan melalui observasi atau eksperimen
Diperoleh dari hasil studi eksperimental khususnya dibentuk untuk menguji teori dasar dan deduksi-deduksinya.
3.
Menganggap gejala sebagai perwujudan dari sebab-sebab yang tidak didasari
Menganggap gejala sebagai respon terkondisi yang tidak sesuai
4.
Menganggap gejala sebagai tanda adanya penekanan (represi)
Menganggap gejala sebagai tanda adanya proses belajar yang salah
5.
Percaya bahwa munculnya sesuatu gejala ditentukan oleh mekanisme pertahanan diri.
Percaya bahwa munculnya suatu gejala ditentukan oleh perbedaanperorangan yang bisa dikondisioningkan dan memiliki otonomi yang labil, sama halnya dengan suasana lingkungan yang terjadi secara kebetulan.
6.
Semua perlakuan terhadap pasien yang mengalami kelainan neurotik harus mendasarkan pada sejarahnya.
Semua perlakuan terhadap pasien yang mengalami kelainan neurotik, berhubungan dengan munculnya kebiasaan pad waktu sekarang, sejarah perkembangan sebagian tidak relevan
7.
Kesembuhan diperoleh dengan memperlakukan dinamika-dinamika yang mendasarinya, tidak dengan memperlakukan gejala itu sendiri.
Kesembuhan diperoleh dengan memperlakukan gejala itu sendiri, yakni dengan membuat respon terkondisi tidak sesuai menjadi sesuatu yang menjenuhkan dan membentuk respon yang terkondisi yang diharapkan.
8.
Interpretasi terhadap gejala, mimpi, tindakan adalh elemen yag penting dalam terapi
Interpretasi, bahkan jika tidak subyektif atau tidak melakukan kesalahan sekalipun, tidak relevan.
9.
Terapi terhadap gejalanya justru menyebabkan munculnya gejala baru
Terapi terhadap gejalanya menyebabkan kesembuhan secara menetap dengan adanya kemampuan menghilangkan respon-respon yang berlebihan melalui proses penjenuhan dengan sendirinya
10.
Transferens adalah hal yang penting untuk kesembuhan pasien neurotik
Hubungan pribadi tidak penting untuk menyembuhkan penderita neurotik, sekalipun hal ini bisa berguna pada keadaan tertentu.


2.3        Pandangan Terhadap Konsep Manusia
Pendekatan behavioristik mengganggap perilaku seseorang dengan semua aspeknya sekarang ini adalah hasil dari proses belajar dan hal ini diperoleh dalam interaksinya dengan dunia luar. Pendekatan behavioristik sebagai teknik untuk mengubah sesuatu perilaku dengan model manusia yang pasif dan dibuat mekanistik. Para ahli yang melakukan pendekatan behavioristik, memandang manusia sebagai pemberi respons (responder), sebagai hasil dari proses, sebagai hasil dari proses kondisioning yang telah terjadi.
Dutin dan george (1977), yang dikutip oleh george dan cristiani (1981), mengemukakan pandangan behavioristik terhadap konnsep manusia, yakni :
a.          Manusia dipandang sebagai individu yang baik atau yang jahat,tapi sebagai individu yang selalu berada dalam keadaan sedang mengalami, yang memiliki kemampuan untuk menjadi sesuatu pada semua jennis perilaku.
b.         Manusia mampu mengkonseptualisasikan dan mengontrol perilakunya sendiri.
c.          Manusia mampu memperoleh perilaku yang baru.
d.         Manusia bisa mempengaruhi perilaku orang lain sama halnya dengan perilakunya yang bisa dipengaruhi orang lain.

2.4        Tujuan Terapi Perilaku
Tujuan umum dari suatu terapi perilaku ialah membentuk kondisi baru untuk belajar, karena melalui proses belajar dapat mengatasi masalah yang ada. Mengenai tujuan terapi perilaku, Corey mengingatkan ada dua konsepsi yang salah, ialah:
a.       Bahwa tujuan terapi adalah memindahkan gejala yang menjadi masalah dan karena itu akan muncul gejala baru, karena akar dari persoalannya tidak hilang
b.      Konsepsi lain yang salah ialah bahwa tujuan pasien atau klien, ditentukan atau dipaksakan oleh terapisnya
Tujuan terapi perilaku dengan orientasi ke arah kegiatan konseling, menurut George dan Cristiani (1981) adalah:
a.       Mengubah perilaku malasuai pada klien
b.      Membantu klien belajar dalam proses pengambilan keputusan secara lebih efisien
c.       Mencegah munculnya masalah dikemudian hari
d.      Memecahkan masalah perilaku khusus yang diminta klien
e.       Mencapai perubahan perilaku yang dapat dipakai dalam kegiatan kehidupannya.

2.5        Teknik Terapi Perilaku
Timbulnya masalah perilaku karena ada sesuatu gejala di dalam kepribadian seseorang yang mempengaruhi pribadinya, sehingga menimbulkan berbagai kesulitan. Karena ada gejala tertentu, mengakibatkan keadaan tidak seimbang dan lebih lanjut terjadi malasuai dengan lingkungannya. Gejala perilaku yang menunjukkan adanya kekurangan, ditambah dan sebaliknya gejala perilaku yang berlebihan dikurangi agar dicapai keadaan seimbang, keadaan harmonis. Menambah, mengurangi  atau mengubah gejala perilaku yang malasuai atau yang patologis inilah tujuan utama dari pendekatan behvioristik dengan mempergunakan berbagai teknik terapi perilaku. Dalam melakukan berbagai teknik terapi perilaku, keadaan relaks yang dilakukan melalui berbagai prosedur relaksasi, dianggap sebagai dasar penting yang harus dilakukan terlebih dahulu.
a.       Relaksasi
Keadaan relaks adalah keadaan dimana seseorang berada dalam keadaan tenang, dalam emosi yang tenang. Untuk mencapai keadaan seperti ini diperlukan suaatu teknik melalui berbagai prosedur antara lain prosedur aktif dan prosedur pasif.
Peranan teknik relaksasi sebagai dasar penting dalam kegiatan terapeutik. Peranan teknik relaksasi yang berkaitan dengan terapi perilaku, mulai dikembangkan sejak edmud jacobson mulai banyak penelitiannya pada awal tahun 30-an. Jacobson menemukan jika seseorang berada dalam keadaan relaks yang dalam, ia tidak akan memperlihatkan respon terkejut terhadap suara keras. Pada tahun 1983, jacobson membuat teknik relaksasi yang disebut sebagai teknik atau latihan relaksasi progresif untuk membawa seseorang sampai ke keadaan relaks pada otot-ototnya. Jadi jika seseorang dapat mengurangi ketegangan atau peregangan pada otot-ototnya, maka akan terjadi juga pengurangan ketegangan atau kecemasan dan akibat-akibat lain karena keadaan tersebut.
Pada waktu bersamaan, ketika jacobson mempergunakan teknik aktifnya, yakni pada tahun 1932, seorang dokter di jerman bernama johanes schultz, memperkenalkan teknik pasif agar seseorang dapat menguasai munculnya emosi yang bergelora, yang dikenal sebagai latihan otogenik. Pasien tidak lagi tergantung kepada terapisnya, tetapi melalui teknik sugesti-diri, seseeorang dapat melakukan sendiri perubahan kefaalan di dalam dirinya sendiri, juga bisa mengatur permunculan-permunculan dari emosinya pada tingkatan maksimal yang dikehendaki.
Pada tahun 50-an, seorang tokoh aliran behavioristik, bernama joseph wolpe, mempergunakan relaksi progresif sebagai dasar untuk melakukan pengebalan sistematik. Teknik relaksasi yang dilakukan wolpe ini adalah modifikasi dari tekniknya jacobson yang dianggap oleh wolpe memakan waktu terlalu lama, sehingga ia memodifikasikan teknik yang lebih pendek, lebih sederhana dan lebih mudah dilakukan . dalam perkembangannya lebih lanjut, teknik latihan relaksasi progresif dipakai sebagai teknik tersendiri, jadi tidak lagi sebagai bagian dari teknik terapi perilaku seperti misalnya, pengebalan sistemik. Sebagai teknik yang dipakai tersendiri, latihan relaksasi progresif dipakai untuk menghadapi pasien atau klien dengan masalah kecemasan umum dan kronis, bahkan akhir-akhir ini bidanya menjadi lebih luas lagi dan kepada para pasien tau klien, diajarkan untuk bisa melakukannya sendiri dengan mempergunakan alat “biofeedback” agar pasien mengetahui saat-saat tercapainya keadaan relaks.
b.      Pengebalan Sistematik
Pengebalan sistematik diperkenalkan oleh Wolpe pada sekitar tahun 1968, namun dasar klinisnya sebenarnya berakar dari penelitian yang dilakukan oleh Mary Cover Jones pada tahun 1924. Jones meneliti mengenai berkurangnya perasaan takut terhadap hal-hal kecil seperti perasaan takut terhadap kelinci. Dasar ini yang kemudian dipakai dalam penelitan-penelitian lebih lanjut dan yang ditulis dalam bukunya yang terkenal yakni: Psychotherapy by Recriprocal Inhibition, pada tahun 1958.
Pada sekitar tahun 50-an Wolpe melakukan penelitian lagi dengan menggunakan obyek kucing. Kucing yang diberikan makan bila dirangsang bunyi dan dilakukan kejutan listrik maka akan timbul respon takut. Pada percobaan lain Wolpe memberikan makanan pada saat kucing mendengar bunyi sehingga timbul respon positif. Pada saat proses kondisioning Wolpe mengulangi percobaan awalnya tadi. Adanya rangsang positif dan negatif menimbulkan situasi konflik yang dinamakan “neurosis eksperimental” dan efek lain yang terjadi adalah menghilangkan atau menghambat keinginan.
Wolpe melanjutkan penelitiannya yakni dengan menempatkan kucing pada kurungan lain baik yang menyerupai kurungannya sendiri maupun tidak secara bertahap sampai kucing tidak merasa ketakutan. Teknik pemberian rangsang secara bertahap ini lah yang dinamakan “sistematik”. Dimulai dari hal yang masih bisa diterima, tidak menimbulkan kegoncangan atau perasaan takut, cemas, kemudian rangsangannya ditingkatkan secara bertahap, sampai ke rangsang yang seandainya diterima sekaligus, akan menimbulkan reaksi negatif. Wolpe mengatakan hal ini sebagai kondisioning yang bertentangan (counterconditioning) dan ia yakin kalau hal ini dapat terjadi pada hewan percobaannya, maka hal seperti ini juga dapat terjadi pada manusia. Sebagai rangsang yang dapat menghambat munculnya perasaan takut pada manusia adalah keadaan relaks, namun karena keadaan relaks yang diperoleh melalui relaksasi model Jacobson membutuhkan waktu yang lama oleh karena itu dirubah enam sampai sepuluh pertemuan. Selain relaksasi, Wolpe memakai teknik imajinasi (pembentukan gambaran) untuk mengganti hal-hal yang nyata dan yang terbukti dapat mengurangi ketakutan. Relaksasi dan imajinasi merupakan kondisioning yang bertentangan (counterconditioning). Wolpe menggunakan istilah “reciprocal inhibition” dan antara keduanya ada sedikit perbedaan yaitu dasar dari teknik pengebalan sistemik, khususnya teknik Wolpe. Modifikasi teknik menjadi objek penelitian yang dikemukakan Goldfriend & Goldfriend [1977] yaitu pengebalan melalui penguatan diri [self-controlled desentization]. Teknik yang digolongkan teknik pengebalan adalah teknik penjenuhan [extinction], yakni apabila rangsang yang menimbulkan rasa takut atau cemas, diberikan terus-menerus tanpa menimbulkan akibat yang negatif pada responnya, kecuali keadaan jenuh menimbulkan perasaan takut atau cemas dan proses pembiasaan [habituation] juga menimbulkan efek yang sama. Perbedaan dari keduanya terletak pada penggunaannya secara teknis. Menurut Levin & Gross [1985], pada pengebalan untuk respons terkondisioning [conditioned response], sedangkan pembiasaan [habituation] untuk respons tidak terkondisioning [unconditioned response].
Prosedur pelaksanaan teknik tradisional pengebalan sistemik adalah:
1)         Melatih atau mengajarkan cara latihan relaksasi progresif.
2)         Menyusun faktor-faktor secara hierarkis dari yang paling tidak menimbulkan ketakutan atau kecemasan sampai yang paling menimbulkan ketakutan.
3)         Menghadapkan faktor-faktor tersebut secara hierarkis sambil membawa pasien atau klien dalam keadaan relaks.

Teknik pengebalan sistemik tidak hanya untuk menghadapi pasien yang menderita fobia, tetapi untuk ansietas, depresi, obsesi, kompulsi, anorexia nervosa [tidak mau makan] dan gagap.
c.       Latihan Asertif
Latihan asertif (assertive training) atau latihan keterampilan sosial (social skills training) adalah salah satu dari sekian banyak topic yang tergolong popular dalam terapi perilaku. Untuk menjelaskan arti perkataan asertif, dapat dilakukan melalui uraian pengertian perilaku asertif (assertive behavior). Perilaku asertif adalah perilaku antar perorangan (interpersonal) yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku asertif ditandai oleh kesesuaian sosial dan seseorang yang berperilaku asertif mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain. Menurut Christeff dan Kelly (1985), ada tiga kategori perilaku asertif yakni:
1)      Asertif penolakan. Ditandai oleh ucapan untuk meperhalus seperti : maaf!
2)      Asertif pujian. Ditandai oleh kemampuan untuk mengekspresikan perasaan positif seperti menghargai, menyukai, mencintai, mengagumi, memuji dan bersyukur.
3)      Asertif permintaan. Jenis asertif ini terjadi kalau seseorang meminta orang lain melakukan sesuatu yang memungkinkan kebutuhan atau tujuan seseorang tercapai, tanpa tekanan atau paksaan. Dari uraian ini terlihat bahwa perilaku asertif adalah perilaku yang menunjukkan adanya keterampilan untuk bisa menyesuaikan dalam hubungan interpersonal, dalam lingkungan sosial.
Menurut Alberti (1977) salah seorang tokoh yang banyak menulis mengani perilaku asertif, latihan asertif (atau terapi perilaku asertif, atau latihan keterampilan sosial) adalah prosedur latihan yang diberikan kepada klien untuk melatih perilaku penyesuaian sosial melalui ekspresi diri dari perasaan, sikap, harapan, pendapat, dan haknya. Prosedurnya adalah :
1)      Latihan keterampilan, perilaku verbal maupun nonverbal diajarkan, dilatih, dan diintergrasikan ke dalam rangkaian perilaunya. Teknik untuk melakukan hal ini adalah : peniruan dengan contoh (modeling), umpan balik secara sistematik, tugas pekerjaan rumah.
2)      Mengurangi kecemasan, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung sebagai hasil tambahan dari latiahn keterampilan. Teknik untuk melakukan hal ini antara lain dengan pendekatan tradisional untuk pengebalan, baik melalui imajinasi maupun keadaan actual.
3)      Menstruktur kembali aspek kognitif, dimana nilai-nilai, kepercayaan, sikap yang membatasi ekspresi diri pada klien, diubah oleh pemahaman untuk melakukan hal ini meliputi penyajian sosial, uraian nilai-nilai dan pengambilan keputusan.
Pada umumnya teknik untuk melakukan latihan asertif, mendasarkan pada prosedur belajar dalam diri seseorang yang perlu diubah, diperbaiki, dan diperbarui. Masters, et al (1987) mengemukakan bahwa teknik yang banyak digunakan untuk latihan asertif adalah latihan berperilaku (behavioral rehearsal) yaitu melakukan atau melatih sesuatu tindakan yang cocok dan efektif untuk menghadapi kehidupan nyata yang menimbulkan persoalan pada pasien atau klien.  Karena itu latihan ini juga dapat digunakan oleh kelompok. Jadi tujuan dari latihan ini adalah agar seseorang belajar bagaimana mengganti sesuatu respons yang tidak sesuai, dengan respons yang baru, yang sesuai.
Latihan asertif menurut corey (1991), bisa bermanfaat untuk dipergunakan dalam menghadapi mereka yang :
1)            Tidak bisa mengekspresikan kemarahan atau perasaannnya yang tersinggung.
2)            Mengalami kesulitan untuk mengatakan “tidak”.
3)            Terlalu halus (sopam) yang membiarkan orang lain mengambil keuntungan dari keadaannya.
4)            Mengalami kesulitan untuk mengekspresikan afeksi (perasaan yang kuat) dan respons-respons lain yang positif.
5)            Merasa tidak memiliki hak untuk mengekspresikan pikiran, kepercayaan, dan perasaannya.
d.      Peniruan Melalui Penokohan (Modeling)
Penggunaan teknik penokohan dalam terapi perilaku, telah dimulai pada akhir tahun 50-an, meliputi tokoh yang nyata, tokoh yang dilihat melalui film atau tokoh dalam imainasi (imajiner). Ada beberapa istilah yang muncul sehubungan dengan prosedur penokohan ini, ialah : penokohan (modeling), peniruan (imitation), dan belajar melalui pengamatan (observational learning). Istilah penokohan ini merupakan istilah umum untuk menunjukkan terjadinya proses belajar melalui pengamatan dari orang lain dan perubahan yang terjadi karenanya melalui peniruan. Peniruan (imitation) dalam arti khusus menunjukkan bahwa perilaku orang lain yang idamati, yang ditiru, lebih merupakan peniruan dan bukan mengenai perilaku secara umum sebagai tokoh dengan dasar perilakunya. Pada proses belajar melalui pengamatan menunjukkan terjadinya proses belajar setelah mengamati perilaku pada orang lain.
Pengaruh peniruan melalui penokohan (modeling), menurut Bandura (yang dikutip oleh corey, 1991) ada tiga hal, yakni :
1)            Pengambilan respons atau keterampilan baru dan memperlihatkan dalam perilakunya setelah memadukan apa yang diperoleh dari pengamatannya dengan pola perilaku yang baru. Contohnya : bahasa pada anak dengan penyimpangan perilaku yang tadinya tidak mau berbicara, kemudian mau lebih banyak berbicara.
2)            Hilangnya respons takut setelah melihat tokoh (sebagai model) melakukan sesuatu yang oleh si pengamat menimbulkan perasaan takut, namun pada tokoh  yang dilihatnya tidak berakibat apa-apa tau akibatnya bahkan positif. Contoh : tokoh yang bermain-main dengan ular dan ternyata ia tidak digigit.
3)            Pengambilan sesuatu respons dari respon-respon yang diperlihatkan oleh tokoh yang memberikan jalan untuk ditiru. Melalui pengamatan terhadap tokoh, seseorang terdorong untuk melakukan sesuatu yang mungkin sudah diketahui atau dipelajari dan ternyata tidak ada hambatan. Contoh : remaja yang berbicara mengenai sesuatu mode pakaian di televisi.
Macam-macam penokohan menururt corey (1991) adalah :
1)      Penokohan yang nyata (live model). Contohnya adalah terapis yang dijadikan model oleh pasien atau kliennya, atau guru, anggota keluarga atau tokoh lain yang dikagumi.
2)      Penokohan yang simbolik (symbolic model) adalah tokoh yang dilihat melalui tokoh film, video, atau media lain. Contohnya : seseorang penderita neurosis yang melihat tokoh dalam film dapat mengalami masalahnya dan kemudian ditirunya.
3)      Penokohan ganda (multiple model) yang terjadi dalam kelompok. Seorang anggota dari sesuatu kelompok mengubah sikap dan mempelajari sesuatu sikap baru, setelah mengamati bagaimana anggota-anggota lain dalam kelompoknya bersikap.
Teknik peniruan melalaui penokohan dapat dipakai untuk menghadapi pasien atau klien yang menderita fobia, penderita ketergantungan atau kecanduan obat-obatan atau alcohol, bahkan dapat dipakai untuk menghadapi penderita dengan gangguan kepribadian yang berat untuk memperoleh keterampialn untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Juga dapat dipergunakan dalam menghadapi anak dengan fobia tertentu seperti fobia terhadap dokter gigi, atau anak-anak yang mengalami hambatan dalam pergaluan.
e.       Penguasaan Diri (Self Control)
Melalui pendekatan penguasaan diri, pasien atau klien dimungkinkan memilki pegangan untuk menghadapi masalah. pendekatan ini berlawanan dengan pendekatan yang mempergunakan proses kondisioning pasif, jadi sebaliknya mempergunakan dasar proses kondisioning aktif (operant).
Masalah-masalah pada penguasaan diri, menurut Kanfer dan Phillips (1970) ada dua kategori, yakni :
1)            Pasien atau klien terlibat dalam pola perilaku yang merugikan (merusak) diri sendiri seperti misalnya orang yang terlalu lahap makan, berlebihand alam merokok, meminum minuman keras atau ketergantungan pada obat-obatan dan perilaku seks bebas yang berlebihan.
2)            Pasien atau klien menderita karena terlalu sedikit memperlihatkan perilaku yang sesuai, misalnya, masalah belajar pada pelajaran, jarang membantu orang lain, gagal untuk memprakarsai kontak sosial dan seksualitas yang pasif.
Mengenai pelaksanaan penguasaan diri, Masters, et al (1987) memberikan beberapa dasar sebagai berikut :
1)            Penguasaan diri tidak ada kaitan dengan dorongan untuk menghendaki sesuatu (willpower), melainkan sesuatu yang muncul dalam kaitan dengan sesuatu yang akan dilakukan akibat yang akan terjadi, serta terbentuk melalui proses belajar.
2)            Pasien atau klien harus menyadari akan pentingnya pemeriksaan diri, bagaimana seseorang terlibat dalam perilaku tersebut dan acap kali terjadi reaksi dalam bentuk pengamatan diri.
3)            Pasien atau klien harus megambil keuntungan dari fakta bahwa perilakunya dibawah penguasaan rangsangan dengan mempergunakan salah satu dari beberapa cara :
a)      Fisik mengubah lingkungan perangsangnya.
b)      mempersempit luasnya perangsangan yang menimbulkan perilaku yang tidak diinginkan.
c)      Memperkuat hubungan antara perorangan tertentu dan perilaku yang diinginkan.
d)     Pasien atau klien harus menentukan respons-respons  mana yang bertentangan yang menghambat perilaku yang diinginkan, untuk diperlemah. Sebaliknya respon-respon yang memungkinkan munculnya perilaku yang tidak diinginkan, diperkuat (agar tidak muncul).
e)      Pasien atau klien harus berusaha untuk memotong rangkaian respons yang mengarah ke respons yang tidak diinginkan seawall mungkin.
f)       Pasien atau klien harus mengatur sendiri hadiah-hadiah segera setelah berlangsung respons yang sesuai.
g)      Sasaran perilaku pada program peguasaan diri, harus mudah dicapai secra bertahap.
h)      Kontrak untuk berperilaku tertentu merupakan faktor penting pada program penguasaan diri.

Mengenai penguasaan diri ini, corey (1991) mempergunakan istilah mengatur diri (self management) yang meliputi pemantauan diri (self monitoring), memberi hadiah terhadap diri sendiri (self reward), kontrak atau perjanjian dengan diri sendiri (self controlling) dan penguasaan terhadap rangsangan (stimulus control) dan diamalkan untuk menghadapi penderita ansietas, depresi, rasa nyeri, dan perilaku-perilaku seperti ketergantungan pada minuman keras, makan yang tidak terkendali dan yang berhubungan dengan kebiasaan belajar.














BAB III
PEMBAHASAN
Skenario Film Pendek Pendekatan Behavioristik
Pemeran 1                   : Eko
Pemeran 2                   : Andi
Pemeran tambahan      : Dea dan Icha
Setting                         : Perpustakaan kampus
1.         Hari ke-1
        Pada suatu hari Eko berada di perpustakaan. Dia berniat untuk belajar. Setelah menemukan buku yang hendak dia pelajari Eko duduk dengan santai sambil membaca buku tersebut. Beberapa menit kemudian Andi datang menghampiri Eko di mejanya.
        Andi          : eh lo Eko kan? Kok jarang kelihatan? Lo sekali-sekali ngumpul dong sama temen-temen. Lo ngapain sih ini?
        Eko            : Ahh ini lagi baca-baca.
        Andi          : Alah ngapain sih belajar-belajar segala. Masih musim apa. Lo tu jangan gini-gini aja dong. Udah mending yuk kita nongkrong aja disana tuh sama temen-temen yang lain.          
Eko            : Enggak deh gue disini aja, masih belum kelar belajarnya
Andi          : Hah yakin lo nggak pengen kesana? Ah nggak asik lo.
Eko            : Iya gue disini aja.
Andi          : Ah yaudah deh kalo gitu gue duluan ya? Lo kalo mau gabung  kesana aja.
Eko          : Iya

2.         Hari ke-2
Seperti biasanya setiap kali ada waktu luang Eko selalu menyempatkan membaca buku di perpustakaan kampusnya. dia masih tetap saja menikmati kegiatan rutinnya itu. Sehingga membuat dia jarang bahkan hampir tidak pernah sempat untuk berkumpul bersama teman-temannya. Teman-teman Eko yang duduk di depannya bahkan tidak mengenalinya karena Eko kurang bergaul dengan mereka. Kemudian Andi datang menghampiri mereka.

Andi        :  Eh, lo kok masih aja belajar sih. Harusnya lo tu refreshing nongkrong sama anak-anak ni.
Eko          : iya nih.
Andi        : Eh lo kok nggak ngajak ngobrol Eko sih, ini temen sekelas kita masa lo nggak kenal sih?
Dea          : Oh iya ya? Dia sekelas sama kita? Nggak pernah lihat gue. Diem mulu sih lo. Ke kantin dong lo jangan diem mulu.
Icha          : Iya nih nggak pernah lihat gue.
Andi        :  Eh yaudah yuk jalan yuk. Udah semua kan nih belajarnya? Nongkrong dulu yuk.
Dea          : Ayok udah kok.
Icha          : Yaudah ayok berangkat. Eh lo ikutan dong Ko.
Andi        : Iya ayo dong Ko.
Eko          : Iya ntar aja deh. Belum selesai belajarnya nih.
Dea          : Ah elo ngapain sih belajar mulu. Ayo dong nongkrong bareng kita.
Eko          : Enggak deh
Andi        : Yaudah ntar lo nyusul ya.

2 jam kemudian

              Andi menghampiri Eko lagi di perpustakaan karena Eko tidak juga menyusulnya di kantin. Kemudian dia mengajak Eko ngobrol sebentar. Andi meminta bantuan Eko untuk memperbaiki handphone nya yang eror. Akhirnya atas bantuan Eko handphone Andi bisa digunakan lagi. Kemudian Andi menawari Eko lagi untuk berkumpul dengan teman-teman yang lain. Eko masih saja menolak tawaran itu.

Andi        : Ko, kok lo nggak nyusul sih tadi?
Eko          : Iya ini gue belum selesai belajarnya. Belum habis nih yang gue baca.
Andi        : Ah emang harus nyampek selesai ya? Yaelah lo tuh.
Eko          : Iya pengen selesai dulu nih.
Andi        : Eh lo bisa benerin handphone android nggak? Nih puny ague kok nggak bisa ya dibuka ya?
Eko          : Oh ini, coba sini. Ini sih tinggal diginiin aja. Nih coba udah bisa belum?
Andi        : Eh iya bener. Canggih lo. Makasih ya.
Eko          : Iya sama-sama.
Andi        :  Eh gue mau nyamperin anak-anak lagi nih. Yakin lo ngga mau ikut?
Eko          : Besok aja deh
Andi        : Besok? Yaudah deh terserah lo

3.         Hari ke-3
Andi berada di perpustakaan. Eko menghampiri Andi. Andi ternyata sedang membaca buku untuk mencari cara memperbaiki handphone nya. Handphone Andi tidak bisa digunakan lagi seperti kemarin. Kemudian Eko membantu Andi. Akhirnya setelah diperbaiki Eko handphone Andi bisa digunakan lagi. Ketika Andi mengajak Eko untuk ke kantin berkumpul dengan teman-temannya ternyata Eko bersedia. Eko mulai berubah. Kini Eko pun bisa bergaul dengan teman-temannya. 

Eko          : Eh lo kok disini tumben nggak nongkrong?
Andi        : Iya nih gue lagi baca-baca buku. Ini nih Handphone gue nggak bisa lagi jdi gue nyari cara-cara nya disini.
Eko          : Coba lihat sini. Oh ini gini cara nya. Tuh cobain udah bisa tuh.
Andi        : Eh iya udah bisa. Hebat lo. Makasih ya.
Eko          : Iya sama-sama. Eh lo nggak nongkrong.
Andi        : Iya nih mau kesana. Ayo lo juga kesana dong.
Eko          : Yaudah ayo gue ikutan. Udah ni tutup dulu aja bukunya.
Andi        : Nah gitu dong sekali-sekali gabung.
             
BAB IV
PENUTUP

4.1        Kesimpulan
Pendekatan dalam layanan konseling merupakan suatu strategi untuk memberikan intervensi kepada konseli. Tujuan yang akan dicapai adalah perubahan pada konseli yang memungkinkan konseli untuk dapat menerima diri (self-acceptance), memahami diri (self-understanding), menyadari diri (self-awareness), mengarahkan diri (self-directing), dan aktualisasi diri (self-actualitation). Dalam proses konseling, dimensi perubahan merupakan tujuan yang akan dicapai oleh konseli-konselor. Banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan pendekatan dalam konseling, diantaranya adalah karakteristik personal (konseli), karakteristik problem, hingga pada tujuan yang hendak dicapai.
Behavioristik merupakan salah satu pendekatan teoritis dan praktis mengenai model pengubahan perilaku konseli dalam proses konseling dan psikoterapi. Pendekatan behavioristik yang memiliki ciri khas pada makna belajar, conditioning yang dirangkai dengan reinforcement menjadi pola efektif dalam mengubah perilaku konseli. Pandangan deterministik behavioristik merupakan elemen yang tidak dapat di hilangkan. Namun pada perkembangan behavioristik kontemporer, pengakuan pada manusia berada pada tingkat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan awal-awal munculnya teori ini.
Pendekatan behavioristik menekankan pentingnya lingkungan dalam proses pembentukan perilaku. Pendekatan ini bertujuan untuk menghilangkan tingkah laku salah suai, tidak sekedar mengganti simptom yang dimanifestasikan dalam tingkah laku tertentu. Dengan pendekatan behavior, diharapkan konseli memiliki tingkah laku baru yang terbentuk melalui proses conditioning, hilangnya simptom dan mampu merespon terhadap stimulus yang dihadapi tanpa menimbulkan masalah baru.


4.2        Saran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar