BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam setiap profesi yang kita tekuni, terutama
profesi yang berhubungan langsung dengan masyarakat kita dituntut mampu untuk
menjadi pemimpin serta bisa mengubah perilaku masyarakat dengan cara
memodifikasi pemikiran-pemikiran masyarakat. Beberapa pendekatan dapat kita
lakukan dalam mempengaruhi pemikiran masyarakat, salah satunya dengan
pendekatan meningkatkan kesadaran pengalaman dan berbudaya.
Kesadaran dalam pengalaman berbudaya dilanjutkan
dengan seseorang yang dapat menilai apakah hal tersebut normal dan dapat
diterima pada budayanya atau mugkin tidak lazim atau tidak dapat diterima
budaya lain. Oleh karena itu perlu untuk memahami budaya yang berbeda dari
dirinya dan menyadari kepercayaannya dan adat-istiadatnya dan mampu untuk
menghormatinya.
1.2 Rumusan Masalah
- Apa pengertian awareness of culture experience?
- Apa saja tingkat kesadaran budaya (cultural awareness)?
- Apa kaitan konselor dan kesadaran budaya?
- Apa saja teknik konseli lintas budaya?
- Bagaimana sikap bidan sebagai professional helper dalam penerapan awareness of culture experience?
1.3 Tujuan
- Mengetahui pengertian awareness of culture experience.
- Mengetahui tingkatan kesadaran dalam pengalaman berbudaya.
- Mengetahui bagaimana konselor dan kesadaran budaya.
- Mengetahui teknik-teknik konseli lintas budaya.
- Mengetahui bagaimana sikap bidan sebagai professional helper dalam penerapan awareness of culture experience.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Kesadaran Budaya ( Cultural
Awareness )
Kesadaran budaya
adalah kemampuan seseorang untuk melihat ke luar dirinya sendiri dan menyadari
akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya yang masuk. Selanjutnya, seseorang
dapat menilai apakah hal tersebut normal dan dapat diterima pada budayanya atau
mugkin tidak lazim atau tidak dapat diterima budaya lain. Oleh karena itu perlu
untuk memahami budaya yang berbeda dari dirinya dan menyadari kepercayaannya
dan adat-istiadatnya dan mampu untuk menghormatinya. (Vacc et al, 2003).
Wunderle (2006)
menyebutkan bahwa kesadaran budaya (cultural awareness) sebagai suatu kemampuan
mengakui dan memahami pengaruh budaya terhadap nilai-nilai dan perilaku
manusia. Implikasi dari kesadaran budaya terhadap pemahaman kebutuhan untuk
mempertimbangankan budaya, faktor-faktor penting dalam menghadapi situasi
tertentu. Pada tingkat yang dasar, kesadaran budaya merupakan informasi,
memberikan makna tentang kemanusiaan untuk mengetahui tentang budaya. Prinsip
dari tugas untuk mendapatkan pemahaman tentang kesadaran budaya adalah
mengumpulkan informasi tentang budaya dan mentransformasikan melalui penambahan
dalam memberikan makna secara progresif sebagai suatu pemahaman terhadap
budaya.
Pantry (dalam Sturges, 2005)
mengidentifikasikan empat kompetensi yang dapat terhindari dari prejudis,
miskonsepsi, dan ketidakmampuan dalam menghadapi kondisi masyarakat majemuk
yaitu:
1.
Kemampuan berkomunikasi (mendengarkan,
menyimpulkan, berinteraksi)
2.
Kemampuan proses (negosiasi, lobi,
mediasi, fasilitasi)
3.
Kemampuan menjaga informasi (penelitian,
menulis, multimedia)
4.
Kemampuan memiliki kesadaran dalam
informasi, cara mengakses informasi dan menggunakan informasi.
Keempat
kompetensi tersebut membrikan peran penting dalam menghadapi masyarakat yang
multicultural dan juga penting bagi konselor dalam kesadaran budaya.
Fowers &
Davidov (Thompkins et al, 2006) mengemukakan bahwa proses untuk menjadi sadar
terhadap nilai yang dimiliki, bias dan keterbatasan meliputi eksplorasi diri
pada budaya hingga seseorang belajar bahwa perspektifnya terbatas, memihak, dan
relative pada latar belakang diri sendiri. Terbentuknya kesadaran dan budaya
pada individu merupakan suatu hal yang terjadi begitu saja. Akan tetapi melalui
berbagai hal dan melibatkan berbagai factor diantaranya adalah persepsi dan
emosi maka kesadaran (awareness) akan terbentuk.
Berdasarkan hal
diatas, pentingnya nilai-nilai menjadi factor penting dalam kehidupan manusia
akan turut mempengaruhi kesadaran budaya (terhadap nilai-nilai yang dianut)
seseorang dan memaknainya. Penting bagi kita untuk memiliki kesadaran budaya
(cultural awareness) agar dapat memiliki kemampuan untuk memahami budaya dan
factor-faktor penting yang dapat mengembangkan nilai-nilai budaya sehingga
dapat terbentuk karakter bangsa.
2.2 Tingkat Kesadaran Budaya (Cultural
Awareness)
Wunderle (2006) mengemukakan lima
tingkat kesadaran budaya, yaitu:
a.
Data dan information. Data merupakan
tingkat terendah dari tingkatan informasi secara kognitif. Data terdiri dari
signal-signal atau tanda-tanda yang tidak melalui proses komunikasi antara
setiap kode-kode yang terdapat dalam sistim, atau rasa yang berasal dari
lingkungan yang mendeteksi tentang manusia. Dalam tingkat ini penting untuk
memiliki data dan informasi tentang berbagai perbedaan yang ada. Dengan adanya
data dan informasi maka hal tersebut dapat membantu kelancaran proses komunikasi.
b.
Culture consideration. Setelah memiliki
data dan informasi yang jelas tentang suatu budaya maka kita akan dapat
memperoleh pemahaman terhadap budaya dan factor apa saja yang menjadi
nilai-nilai dari budaya tertentu. Hal ini akan memberikan pertimbangan tentang
konsep-konsep yang dimiliki oleh suatu budaya secara umum dan dapat memaknai
arti dari culture code yang ada. Pertimbangan budaya ini akan membantu kita
untuk memperkuat proses komunikasi dan interaksi yang akan terjadi.
c.
Culture knowledge. Informasi dan
pertimbangan yang telah dimiliki memang tidak mudah untuk dapat diterapkan
dalam pemahaman suatu budaya. Namun, pentingnya pengetahuan budaya merupakan
factor penting bagi seseorang untuk menghadapi situasi yang akan dihadapinya.
Pengetahuan budaya tersebut tidak hanya pengetahuan tentang budaya orang lain
namun juga penting untuk mengetahui budayanya sendiri. Oleh karena itu
pengetahuan terhadap budaya dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan khusus.
Tujuannya adalah untuk membuka pemahaman terhadap sejarah suatu budaya. Ini
termasuk pada isu-isu utama budaya seperti kelompok, pemimpin, dinamika,
keutamaan budaya dan keterampilan bahasa agar dapat memahami budaya tertentu.
d.
Cultural understanding. Memiliki
pengetahuan tentang budaya yang di anutnya dan juga budaya orang lain melalui
berbagai aktivitas dan pelatihan penting agar dapat memahami dinamika yang
terjadi dalam suatu budaya tertentu. Oleh karena itu, penting untuk terus
menggali pemahaman budaya melalui pelatihan lanjutan. Adapun tujuannya adalah
untuk lebih mengarah pada kesadaran mendalam pada kekhususan budaya yang
memberikan pemahaman hingga pada proses berfikir, factor-faktor yang memotivasi
dan isu lain yang secara langsug mendukung proses pengambilan suatu keputusan.
e.
Cultural competence. Tingkat tertinggi
dari kesadaran budaya adalah kompetensi budaya. Kompetensi budaya berfungsi
untuk menentukan dan mengambil suatu keputusan dan kesadaran budaya. Kompetensi
budaya merupakan pemahaman terhadap kelenturan budaya (culture adhesive). Dan
hal ini penting karena dengan kecerdasan budaya yang memfokuskan pemahaman pada
perencanaan dan pengambilan keputusan pada situasi tertentu. Implikasi dari
kompetensi budaya adalah pemahaman secara intensif terhadap kelompok tertentu.
Selain
itu, Robert Hanvey menyebutkan 4 tingkat cross-cultural awareness (Y an-li,
2007) yaitu :
a.
Awareness of superficial or visible
cultural traits. Pada tingkat ini informasi yang diperoleh oleh seseorang
berasal dari media atau saat dia mengunjungi suatu Negara atau daerah atau dari
pelajaran di sekolah. Y an-li (2007) menyatakan pada level ini pemahaman mereka
hanya terlihat dari ciri yang Nampak dan mereka jadikan sebagai pandangan
stereotype terhadap badaya yang tidak benar-benar mereka pahami.
b.
Awareness of significant and subtle
cultural traits that others are different and therefore problematic. Pada level
ini seseorang mulai memahami dengan baik tentang signifikansi dan ciri budaya
yang sangat berbeda dengan caranya sendiri. Hal ini terkadang menimbulkan
frustasi dan kebingungan sehingga terjadi konflik dalam dirinya.
c.
Awareness of significant and subtle
cultural traits that others are believable in an intellectual way. Pada level
ini seseorang telah memahami secara signifikan dan perbedaan budayanya dengan
orang lain, namun dalam level ini seseorang sudah mampu untuk menerima budaya
lain secara utuh sebagai manusia.
d.
Awareness of how another culture feels
from the standpoint of the insider. Level ini adalah level yang tertinggi dari
cross-cultural awareness. Pada level ini seseorang mengalami bagaimana perasaan
yang dirasakan oleh budaya lain melalui pandangan dari dalam dirinya. Hal ini
melibatkan emosi dan juga perilaku yang dilakukannya melalui
pengalaman-pengalaman langsungnya dengan situasi dan budaya tertentu seperti
belajar bahasa, kebiasaan, dan memehami nilai-nilai yang ada dalam budaya
tersebut.
Berdasarkan tingkatan dari kesadaran budaya diatas,
perlu bagi konselor untuk memiliki pemahaman dalam menggunakan
tingkatan-tingkatan tersebut untuk memahami budaya. Tingkatan-tingkatan
tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan aplikasi guna memahami fitur-fitur
kunci pada perbedaan budaya. Sehingga dapat diaplikasikan dengan menggunakan
teknik-teknik yang tepat untuk memahami dalam pelaksanaan konseling.
2.3 Konselor dan Kesadaran Budaya
Peran konselor dalam proses memandirikan individu
merupakan peran yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itu
dalam proses layanan konseling yang diberikannya, konselor tentu perlu untuk
memiliki pemahaman yang mendalam terhadap konselinya. Pemahaman tersebut
mencakup hal-hal yang ada dalam dirinya sendiri dan juga konselinya. Kesadaran
akan perbedaan yang dimiliki antara keduanya menjadi salah satu cara yang
penting untuk menjaga hubungan dan interaksi dalam proses konseling.
Ekspektasi kinerja konselor dalam memberikan layanan
konseling akan selalu digerakkan oleh motif altruistic dalam arti selalu
menggunakan penyikapan yang empatik, menghormati keberagaman, serta
mengedepankan kemaslahatan pengguna pelayanannya, dilakukan dengan selalu
mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari tindak pelayanannya itu
terhadap pengguna pelayanan, sehingga pelayanan professional dinamakan “ the
reflective practitioner” (depdiknas,2008).
Penting bahwa konselor memahami budaya mereka
sendiri dalam rangka untuk bekerja dengan klien tanpa memaksakan nila-nilai
mereka, menyinggung klien, atau perilaku
non verbal klien yang salah diinterpretasikan. Untuk menghindari terjadinya
kesalahpahaman atau ketidakmengertian maka konselor harus memiliki kesadaran
akan perbedaan yang terjadi tersebut agar klien dapat merasa nyaman. Kesadaran
akan perbedaan budaya yang dimiliki konselor dapat membantu dan mendidik tidak
hanya konselor namun juga klien terkait dengan budaya masing – masing. Sehingga
hal tersebut dapat membantu keduanya untuk bekerja sama dalam mengatasi masalah
klien atau dalam lingkungna yang lebih kondusif bagi pertumbuhan klien.
Berkaitan dengn hal diatas, penting bagi konseor
memiliki kompetensi yang akan memberikan arah dalam pelaksanaan konseling
dengan keberagaman budaya konselinya. Refleksi terhadap praktek konseling tentu
akan melibatkan pemahaman dan kesadaran konselor terhadap budaya yang
dimilikinya dan konselinya. Kesadaran budaya (cultural awareness) merupakan
salah satu dimensi yang penting untuk dimiliki oleh konselor. Dimensi ini perlu
dimiliki oleh konselor agar dapat memiliki pemahaman dan kesadaran bahwa factor
budaya yang dimilikinya (ras, gender, nilai-nilai, kelas social, dan lain-lain)
akan memperngaruhi perkembangan diri dan pandangan terhadap dirinya. Oleh
karena itu perlu baginya untuk mengetahui bahwa nilai dan perilaku yang
dimilikinya akan berpengaruh kepada orang lain. Hal tersebut secara substansial
akan berdampak pada perkembangan manusia dan proses konseling (geilen et al,
2008).
Kardinata (2005) menyebutkan bahwa sebagai pendidik
psikologis, konselor harus memiliki kompetensi dalam hal ini :
- Memahami kompleksitas interaksi individu – lingkungan dalam ragam konteks social budaya. Ini berarti seorang konselor baru mampu mengakses, mengintervensi, dan mengevaluasi keterlibatan dinamis dari keluarga, lingkungan, sekolah, lembaga social, dan masyarakat sebagai factor yang berpengaruh terhadap keberfungsian individu didalam system.
- Menguasai ragam bentuk intervensi psikologis baik antar maupun intra pribadi dan lintas budaya. Kemampuan menguasai teknik – teknik treatment traditional yang terdiri atas konseling individual dan kelompok harus diperluas kearah penguasaan teknik-teknik konsultasi, pelatihan dan pengembangan organisasi.
- Menguasai strategi dan teknik assessment yang memungkinkan dapat dipahaminya keberfungsian psikologis individu dan interaksinya dengan lingkungan.
- Memahami proses perkembangan manusia secara individual maupun secara social. Sebagai orang profesional, konselor harus mampu mengkonseptualisasikan dan memfasilitasi proses pertumbuhan melalui pengembangan interaksi optimal antara individu dengan lingkungan. Konselor harus bergerak melintas dari konsep static tentang “kecocokan individu-lingkungan” kearah “alur individu-lingkungan” yang menekankan kepada keterikatan pengayaan pertumbuhan antara individu dengan suatu lingkungan belajar.
e. Memegang
kokoh regulasi profesi yang terinternalisasi ke dalam kekuatan etik profesi
yang mempribadi.
f. Memahami
dan menguasai kaidah-kaidah dan praktek pendidikan.
Berdasarkan
penjelasan diatas terkait dengan kompetensi yang penting bagi seorang konselor
agar mampu memahami perkembangan manusia, kompleksitas manusia yang memiliki
keragaman baik dari konteks individu maupun sosial budayanya. Oleh karena itu,
penting bagi konselor secara umum (tidak hanya untuk konselor multikultular)
dapat memiliki kesadaran budaya perlu memperhatikan berbagai hal yang terkait
dengan pemahaman individu dan lingkungan.
Kesadaran
budaya yang perlu dimiliki konselor tentu diawali juga dengan pemahamannya
terhadap perbedaan budaya konseli. Patterson (2004) menyebutkan bahwa terdapat
2 jenis perbedaan konseli yaitu accidential
dan essential. Perbedaan budaya,
etnik dan ras merupakan suatu hal yang terjadi dengan tidak sengaja (misalnya
tempat dilahirkan). Namun, konseli juga memiliki kesamaan pada hal-hal yang
utama atau hal yang pokok (essential)
sebagai manusia. Oleh karena itu, konselor perlu memiliki kualitas dasar dalam
pelaksanaan konseling. Rogers (patterson, 2004) menyebutkan 5 kualitas dasar
konselor yaitu :
a. Respect. Menghargai
klien merupakan hal yang penting bagi konselor. Hal ini termasuk memiliki
kepercayaan kepada klien dan memiliki asumsi bahwa klien memiliki kemampuan untuk
mengambil tanggung jawab untuk dirinya sendiri (termasuk selama proses
konseling berlangsung), klien memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan dan
memutuskan dan memecahkan masalahnya.
b. Genuinenes. Konseling
merupakan hubungan yang nyata. Konselor perlu memiliki kesungguhan dalam
memberikan konseling dan juga adalah sosok yang nyata. Selain itu konselor
harus sesuai dengan diri sesungguhnya (kongruensi) ini berarti konselor
betul-betul menjadi dirinya tanpa kepalsuan.
c. Empathic understanding.
Pemahaman yang empati lebih dari
sekedar pengetahuan tentang klien. Akan tetapi pemahaman yang melibatkan dunia
dan budaya klien secara mendalam. Ibrahim (Patterson, 2004) mengemukakan bagwa
kemampuan untuk menunjukkan empati pada budaya secara konsisten dan hal-hal
yang memiliki makna merupakan variabel penting untuk melibatkan klien.
d. Communication of empathic, respect
and genuineness to the client. Kondisi ini penting utntuk di persepsi, diakui, dan
dirasakan oleh klien. Persepsi tersebut akan mengalami kesulitan jika klien
berbeda dengan konselor baik dari budaya, ras, sosial ekonomi,umur dan gender.
Oleh karna itu penting baggi konselor untuk memahami perbedaan tersebut. Sue (
patterson, 2004) menyatakan bahwa
peemahaman terhadap perbedaan baik secara verbal maupun noverbal akan
sangat membantu dalam proses konseling.
e. Structuring. Salah
satu elemen pointing yang terkadang tidak disadari oleh konselor adalah
struktur atau susunan dalam proses konseling. Vontress (Patterson, 2004)
menyebutkan bahwa huibungan dengan seorang professional yang menempatkan
tanggung jawab utama kepada individu untuk memecahkan masalahnya sangat
sedikit. Pekerjaan konselor dalam proses konseling sebaiknya memiliki sususnan
dan mengartikan peranya pada klien. Konselor sebaiknya menyatakan bahwa apa,
bagaimana dan mengapa dia bermaksud melakukan konseling. Kegagalan untuk
memberikan pemahaman peran konselor di awal proses konseling dapat menghasilkan
ketidakpahaman antara keduanya.
Beberapa kualitas konselor di atas, memang memiliki
dasar yang utama I(essential) dalam
menghadapi klien secara umum, namun ada hal-hal yang secara budaya tidak sesuai
dengan budaya yang ada di Indonesia. Misalnya, terkait dewngan elemen yang
terakhir yaitu structuring, bagi
beberapa budaya di Indonesia pentingnya seorang professional dalam memberikan
bantuan melalui proses konseling masih sangat terbatas sehingga untuk melakukan
sesuai kriteria tersebut perlu penggalian lebih mendalam bagi seorang konselor.
Selanjutnya, kesadaran budaya konselor dalam
menghadapi perbedaan nilai-nilai menjadi faktor penentu efktifitas proses
konseling yang diberikannya. Bishop (Kertamuda, 2009) menyebutkan pedoman (guidelines) yang perlu dimiliki
konselor terkait perbedaan nilai-nilai yaitu:
a. Konselor membantu klien agar merasakan bahwa
nilai-nilai yang dimilikinya dapat diterima selama proses konseli berlangsung.
Peran konselor adalah meyakinkan konseli bahwa perasaan klien terkait dengan
nilai-nlai yang dimilikinya dapat diterima oleh konselor.
b. Konselor
memberikan pandangan terhadap klien bahwa nilai-nilai, dalam hal ini nilai
keagamaan, yang dimiliki sebagai bagian dalam memecahkan masalah yang dihadapi
klien, tidak hanya sebagai bagian dari masalah. Konselor perlu memiliki
pemahaman bahwa nilai-nilai keagamaan dapt memberikan pengaruh positif
teerhadap kesehatan mental klien sama dengan dukungan sosial yang diberikannya.
c. Konselor
harus meningkatkan diri dan memiliki pendidikan tentang budaya, nilai-nilai
keagamaan, keyakinan, dan mempraktekkan; berusaha untuk mengerti bagaimana isu-isu
terkait dalam hal tersebut diintegrasikan melalui teori psikologi dan praktek
konseling.
d. Konselor
mengikuti aktivitas-aktivitas di masyarakat yang dapat meningkatkan
interaksinya dengan orang-orang yang berbeda secara budaya maupun agama.
e. Konselor
mampu mengeksplor dan mengevaluasi nilai-nilai personal yang dianutnya.
Penilaiaan diri (self-examination)
merupakan hal penting karena (1) setiap orang memiliki kelemahan-kelemahan (blind spot) yang dapat menimbulkan bias
terkait dengan nilai, (2) kita perlu menyadari terhadap bias-bias yang dimiliki
saat menghadapi klien, (3) proses klarifikasi terhadap nilai-nilai personaql
dapat membantu konselor mengidentifikasi masalah atau nilai-nilai yang dimiliki
klien, (4) perjuangan konselor untuk memahami nilai-nilainya dapat memberikan
pemahaman yang baik dan menghargai proses konseling bersama klien.
f. Konselor
harus hati-hati dengan perlawanan atau penolakan (resistance) yang dimilikinya
terhadap permasalahan. Konselor yang tidak bersedia terbuka untuk berdiskusi dan
berintegrasi dengan nilai – nilainya maka proses konseling dapat beresiko dalam
menyampaikan pesan kepada klien. Klien akan mulai mempercayai konselor diawal
proses konseling. Oleh karena itu perlu memberikan kesan bahwa memang dia dapat
dipercaya oleh kliennya.
g. Konselor
perlu mengembangkan bahasa yang sederhana dan jelas agar dapat berkomunikasi
dengan klien tentang nilai – nilai keagamaan baik itu yang dimiliki konselor
maupun klien.
Segala kompetensi, kualitas dan guidelines tidak
akan efektif dalam proses konseling jika konselor tidak memiliki metode dan
pendekatan yang sesuai dalam menghadapi klien yang multicultural. Patterson
2004 menyampaikan kritikan bahwa konselor tidak membutuhkan kompetensi konselor
untuk konseli multicultural. Namun yang dibutuhkan adalah metode dan pendekatan
efektif untuk semua klien dan siatnya sebagai system yang universal dalam
konseling. Berdasakan hal tersebut, penting bagi konselor untuk memiliki
kesadaran budaya dan menempatkannya secara tepat dalam interaksinya dengan
klien adalah hal yang penting untuk mengembangkan kesadaran budaya (kultural
awareness), konselor sebaiknya meningkatkan penghargaan diri terhadap perbedaan
budaya. Konselor harus menyadari stereo type yang ada dalam dirinya dan
mempunyai persepsi yang jelas bagaimana pandangannya terhadap kelompok –
kelompok minoritas. Kesadaran ini dapat meningkatkan kemampuannya untuk
menghargai secara efektif dan pemahaman yang sesuai tentang perbedaan budaya
(Brown & Williams, 2003).
2.4 Teknik Konseling Lintas Budaya
Perbedaan budaya yang terjadi di masyarakat menjadi
tantangan konselor agar dapat memilki kemampuan dari teknik yang tepat dalam
melakukan konseling. Hal yang terpenting lagi yang perlu dimiliki konselor pada
saat proses konseling adalah “hadir” (Be Present), perhatian, peduli, dukungan
emosional, tidak menghakimi, empati, mendengarkan dan juga cinta. (Geilent ea
al, 2008)
Terdapat beberapa teknik konseling yang dikemukakan
Thompson (2003) dan sekiranya dapat digunakan oleh konselor agar dapat tetap
memiliki kesadaran budaya dan diaplikasikan dalam konseling adalah:
- Teknik Listening with Empathy and Linstening with Awareness.
Mendengarkan
dengan penuh empati dan penuh kesadaran bertujuan untuk memahami hal-hal yanga
ada dibalik ungkapan atau ucapan dari konseli seperti nada suara, penekanan,
ekspresi wajah dan ketidak sesuaian antara ekspres dan content. Terdapat empat
langkah agar dapat mendengarkan penuh empati yaitu: Mendengarkan perasaan baik
itu secara verbal maupun nonverbal, mengakui persaan dan mampu mengidentifikasi
apa yang dilihat dan didengar dari konseli, memperjelas apa yang dirasakan oleh
konseli terhadap perbedaan yang ada, mengecek kebenaran dari apa yang diungkap
oleh konseli.
- Teknik the Use of “I-Message”
Teknik
ini bertujuan untuk memberikan respon yang asertif untuk mengatasi konflik
dalam diri konseli yang berbeda budaya dengan konselor. Albert and Emmons
(Thompson, 2003) mengidentifikasikan tiga lengkp empati yang assertif, yaitu
membiarkan konseli tahu posisi konselor, memberi tahu konseli tentang apa yang
anda inginkan dari proses konseli ini. Hal ini bertujuan agar terjadi
komunikasi yang tepat dan sesuai dengan apa yang konseli butuhkan.
- Teknik Companion
Teknik
ini membantu konseli agar dapat merasakan bahwa kehadiran konselor sebagai
pendamping, yang peduli, dan penuh kasih agar konseli dapat memahami kebutuhan
emosionalnya. Kesadaran konselor untuk meyakinkan dan mendengarkan konseli
meskipun terdapat perbedaan antara mereka dapat pendukung bagi konseli.
- Teknik Repeating the Obvious
Teknik
ini bertujuan untuk mengklarifikasi pikiran dan perasaan konseli secara
langsung terhadap permasalahan yang dihadapinya. Schriner (Thompson,2003)
mengemukakan dua jenis pernyataan yang penting, yaitu kalimat “I Understand”
dan “I Can”. Kedua kalimat itu sangat membantu dalam menghadapi masalah atau
perasaan tidak bahagia. Pengulangan terhadap kalimat tersebut oleh konseli
dapat mengatasi dan menjadi kekuatan baginya.
- Teknik Communicating to Enhance Relationships
Teknik
ini bertujuan untuk mengidentifikasi keterampilan komnikasi yang dapat
meningkatkan hubungan antar pribadi secara aktif dan penuh perhatian. Menjaga
hubungan melalui berbagai perasaan dan bersama meraih apa yang diinginkan dalam
proses konseling yang dilakukan serta bagaimana aplikasinya di luar proses
konseling.
- Teknik Possitive Affirmations
Teknik
ini merupakan teknik yang dapat meningkatkan kesejahteraan pribdi dan harga
diri konseli. Dalam proses konseling, teknik ini digunakan oleh konselor untuk
meyakinkan konseli bahwa hal-hal yang positif dapat membuatnya merasa nyaman
baik dengan dirinya sendiri maupun lingkungannya.
- Teknik Turning You-Statement into I-Statement
Teknik
ini bertujuan untuk mengungkapkan perasaan dan emosi yang tertekan dari
konseli. Penekanan dan penolakan terhadap apa yang dirasakan dapat berakibat
meningkatnya iritabilitas dan konflik dengan orang lain, kesulitan
menyelesaikan masalah interpersonal, presepsi yang terdistorsi. Penggunaan
I-statement dapat membantu konselli untuk tidak menghakimi dan menyalahkan orang
lain ataupun lingkungannya tentang apa yang dirasakannya.
2.5 Bidan sebagai Professional Helper dalam
Penerapan Awareness of Culture Experince
1. Bidan
mengidentifikasi terlebih dahulu mengenai budaya-budaya dan adat istiadat yang
ada dalam lingkungan dimana Bidan tersebut memberikan pelayanan kesehatan. Hal
ini bertujuan untuk dapat mengetahui budaya yang lahir dalam lingkungan tempat
bidan bekerja. Selain itu, hal ini dapat memberikan bidan pengetahuan untuk
bisa melakukan adaptasi terhadap lingkungan sekitar.
2. Setelah
melakukan identifikasi terhadap budaya-budaya setempat, bidan bisa
memilah-milah budaya mana saja yang sesuai dengan fakta kesehatan. Sedangkan
pandangan budaya yang kurang sesuai dengan fakta kesehatan, maka sikap bidan
sebagai professional helper berperan untuk mengubah pandangan masyarakat
melalui tahap-tahap sesuai dengan penerapan awareness of culture experience
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang makalah ini, konselor
perlu untuk memperkuat kesadarannya terhadap budaya yang beragam dalam
kehidupan manusia. Pentingnya memahami perbedaan nilai – nilai, persepsi,
emosi, dan factor – factor lain yang menjadi wujud kemajemukan yang ada.
Kompetensi, kualitas dan guideline tentang kesadaran budaya konselor dapat
diwujudkan dengan memiliki kesadaran dan sensitive (kepekaan) pada wrisan
budayanya sendiri, memiliki pengetahuan tentang rasnya dan bagaimana hal
tersebut secara personal dan professional mempengaruhi proses konseling dan
memiliki pengetahuan tentang kehidupan social yang ada mempengaruhi orang lain.
Hal tersebut akan membantu konselor dalam menghadapi
tantangan diera globalisasi. Oleh karena itu pembekalan terhadap kompetensi,
kemampuan, dam peguasaan teknik konseling serta kesadaran budaya harus terus
dijadikan landasan penting dalam diri konselor dalam menggunakan metode dan
pendekatan yang efektif kepada konseli.
3.2 Saran
Dalam
menjalankan profesinya bidan diharapkan tidak memaksakan kehendaknya sendiri
dalam rangka menghadapi budaya – budaya yang ada, karena tidak semua budaya
tersebut sesuai dengan pelayanan kesehatan. Kesadaran dalam pengalaman budaya
dapat dijadikan acuan untuk bisa menyesuaikan diri terhadap budaya – budaya
yang ada di lingkungan dimana bidan tersebut memberikan pelayanan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bodenhorn, Nancy, dkk. 2005. Increasing Personal
Cultural Awareness trough Discussions with International Students. Internasional Journal of Teaching and
Learning in Higher Education. Vol. 17, Number 1, 63-68.
Kim, Bryan, dkk. 2003. Conselor ethnicity,
counselor nonverbal behavior, and session with Asian Americans Clients :
Initial Findings. Journal Counseling and
Development. Vol 81.2, pp.202-207
kok sama dengan tensisnya Fatchiah Kertamuda, SPd. MSc dri univ paramidana jakarta ya?
BalasHapus