Selasa, 16 Juni 2015

Awareness Of Cultural Experience



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam setiap profesi yang kita tekuni, terutama profesi yang berhubungan langsung dengan masyarakat kita dituntut mampu untuk menjadi pemimpin serta bisa mengubah perilaku masyarakat dengan cara memodifikasi pemikiran-pemikiran masyarakat. Beberapa pendekatan dapat kita lakukan dalam mempengaruhi pemikiran masyarakat, salah satunya dengan pendekatan meningkatkan kesadaran pengalaman dan berbudaya.
Kesadaran dalam pengalaman berbudaya dilanjutkan dengan seseorang yang dapat menilai apakah hal tersebut normal dan dapat diterima pada budayanya atau mugkin tidak lazim atau tidak dapat diterima budaya lain. Oleh karena itu perlu untuk memahami budaya yang berbeda dari dirinya dan menyadari kepercayaannya dan adat-istiadatnya dan mampu untuk menghormatinya.

1.2  Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian awareness of culture experience?
  2. Apa saja tingkat kesadaran budaya (cultural awareness)?
  3. Apa kaitan konselor dan kesadaran budaya?
  4. Apa saja teknik konseli lintas budaya?
  5. Bagaimana sikap bidan sebagai professional helper dalam penerapan awareness of culture experience?

1.3  Tujuan
  1. Mengetahui pengertian awareness of culture experience.
  2. Mengetahui tingkatan kesadaran dalam pengalaman berbudaya.
  3. Mengetahui bagaimana konselor dan kesadaran budaya.
  4. Mengetahui teknik-teknik konseli lintas budaya.
  5. Mengetahui bagaimana sikap bidan sebagai professional helper dalam penerapan awareness of culture experience.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Kesadaran Budaya ( Cultural Awareness )
Kesadaran budaya adalah kemampuan seseorang untuk melihat ke luar dirinya sendiri dan menyadari akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya yang masuk. Selanjutnya, seseorang dapat menilai apakah hal tersebut normal dan dapat diterima pada budayanya atau mugkin tidak lazim atau tidak dapat diterima budaya lain. Oleh karena itu perlu untuk memahami budaya yang berbeda dari dirinya dan menyadari kepercayaannya dan adat-istiadatnya dan mampu untuk menghormatinya. (Vacc et al, 2003).
Wunderle (2006) menyebutkan bahwa kesadaran budaya (cultural awareness) sebagai suatu kemampuan mengakui dan memahami pengaruh budaya terhadap nilai-nilai dan perilaku manusia. Implikasi dari kesadaran budaya terhadap pemahaman kebutuhan untuk mempertimbangankan budaya, faktor-faktor penting dalam menghadapi situasi tertentu. Pada tingkat yang dasar, kesadaran budaya merupakan informasi, memberikan makna tentang kemanusiaan untuk mengetahui tentang budaya. Prinsip dari tugas untuk mendapatkan pemahaman tentang kesadaran budaya adalah mengumpulkan informasi tentang budaya dan mentransformasikan melalui penambahan dalam memberikan makna secara progresif sebagai suatu pemahaman terhadap budaya.
Pantry (dalam Sturges, 2005) mengidentifikasikan empat kompetensi yang dapat terhindari dari prejudis, miskonsepsi, dan ketidakmampuan dalam menghadapi kondisi masyarakat majemuk yaitu:
1.      Kemampuan berkomunikasi (mendengarkan, menyimpulkan, berinteraksi)
2.      Kemampuan proses (negosiasi, lobi, mediasi, fasilitasi)
3.      Kemampuan menjaga informasi (penelitian, menulis, multimedia)
4.      Kemampuan memiliki kesadaran dalam informasi, cara mengakses informasi dan menggunakan informasi.
Keempat kompetensi tersebut membrikan peran penting dalam menghadapi masyarakat yang multicultural dan juga penting bagi konselor dalam kesadaran budaya.
Fowers & Davidov (Thompkins et al, 2006) mengemukakan bahwa proses untuk menjadi sadar terhadap nilai yang dimiliki, bias dan keterbatasan meliputi eksplorasi diri pada budaya hingga seseorang belajar bahwa perspektifnya terbatas, memihak, dan relative pada latar belakang diri sendiri. Terbentuknya kesadaran dan budaya pada individu merupakan suatu hal yang terjadi begitu saja. Akan tetapi melalui berbagai hal dan melibatkan berbagai factor diantaranya adalah persepsi dan emosi maka kesadaran (awareness) akan terbentuk.
Berdasarkan hal diatas, pentingnya nilai-nilai menjadi factor penting dalam kehidupan manusia akan turut mempengaruhi kesadaran budaya (terhadap nilai-nilai yang dianut) seseorang dan memaknainya. Penting bagi kita untuk memiliki kesadaran budaya (cultural awareness) agar dapat memiliki kemampuan untuk memahami budaya dan factor-faktor penting yang dapat mengembangkan nilai-nilai budaya sehingga dapat terbentuk karakter bangsa.

2.2  Tingkat Kesadaran Budaya (Cultural Awareness)
Wunderle (2006) mengemukakan lima tingkat kesadaran budaya, yaitu:
a.       Data dan information. Data merupakan tingkat terendah dari tingkatan informasi secara kognitif. Data terdiri dari signal-signal atau tanda-tanda yang tidak melalui proses komunikasi antara setiap kode-kode yang terdapat dalam sistim, atau rasa yang berasal dari lingkungan yang mendeteksi tentang manusia. Dalam tingkat ini penting untuk memiliki data dan informasi tentang berbagai perbedaan yang ada. Dengan adanya data dan informasi maka hal tersebut dapat membantu kelancaran proses komunikasi.
b.      Culture consideration. Setelah memiliki data dan informasi yang jelas tentang suatu budaya maka kita akan dapat memperoleh pemahaman terhadap budaya dan factor apa saja yang menjadi nilai-nilai dari budaya tertentu. Hal ini akan memberikan pertimbangan tentang konsep-konsep yang dimiliki oleh suatu budaya secara umum dan dapat memaknai arti dari culture code yang ada. Pertimbangan budaya ini akan membantu kita untuk memperkuat proses komunikasi dan interaksi yang akan terjadi.
c.       Culture knowledge. Informasi dan pertimbangan yang telah dimiliki memang tidak mudah untuk dapat diterapkan dalam pemahaman suatu budaya. Namun, pentingnya pengetahuan budaya merupakan factor penting bagi seseorang untuk menghadapi situasi yang akan dihadapinya. Pengetahuan budaya tersebut tidak hanya pengetahuan tentang budaya orang lain namun juga penting untuk mengetahui budayanya sendiri. Oleh karena itu pengetahuan terhadap budaya dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan khusus. Tujuannya adalah untuk membuka pemahaman terhadap sejarah suatu budaya. Ini termasuk pada isu-isu utama budaya seperti kelompok, pemimpin, dinamika, keutamaan budaya dan keterampilan bahasa agar dapat memahami budaya tertentu.
d.      Cultural understanding. Memiliki pengetahuan tentang budaya yang di anutnya dan juga budaya orang lain melalui berbagai aktivitas dan pelatihan penting agar dapat memahami dinamika yang terjadi dalam suatu budaya tertentu. Oleh karena itu, penting untuk terus menggali pemahaman budaya melalui pelatihan lanjutan. Adapun tujuannya adalah untuk lebih mengarah pada kesadaran mendalam pada kekhususan budaya yang memberikan pemahaman hingga pada proses berfikir, factor-faktor yang memotivasi dan isu lain yang secara langsug mendukung proses pengambilan suatu keputusan.
e.       Cultural competence. Tingkat tertinggi dari kesadaran budaya adalah kompetensi budaya. Kompetensi budaya berfungsi untuk menentukan dan mengambil suatu keputusan dan kesadaran budaya. Kompetensi budaya merupakan pemahaman terhadap kelenturan budaya (culture adhesive). Dan hal ini penting karena dengan kecerdasan budaya yang memfokuskan pemahaman pada perencanaan dan pengambilan keputusan pada situasi tertentu. Implikasi dari kompetensi budaya adalah pemahaman secara intensif terhadap kelompok tertentu.
Selain itu, Robert Hanvey menyebutkan 4 tingkat cross-cultural awareness (Y an-li, 2007) yaitu :
a.       Awareness of superficial or visible cultural traits. Pada tingkat ini informasi yang diperoleh oleh seseorang berasal dari media atau saat dia mengunjungi suatu Negara atau daerah atau dari pelajaran di sekolah. Y an-li (2007) menyatakan pada level ini pemahaman mereka hanya terlihat dari ciri yang Nampak dan mereka jadikan sebagai pandangan stereotype terhadap badaya yang tidak benar-benar mereka pahami.
b.      Awareness of significant and subtle cultural traits that others are different and therefore problematic. Pada level ini seseorang mulai memahami dengan baik tentang signifikansi dan ciri budaya yang sangat berbeda dengan caranya sendiri. Hal ini terkadang menimbulkan frustasi dan kebingungan sehingga terjadi konflik dalam dirinya.
c.       Awareness of significant and subtle cultural traits that others are believable in an intellectual way. Pada level ini seseorang telah memahami secara signifikan dan perbedaan budayanya dengan orang lain, namun dalam level ini seseorang sudah mampu untuk menerima budaya lain secara utuh sebagai manusia.
d.      Awareness of how another culture feels from the standpoint of the insider. Level ini adalah level yang tertinggi dari cross-cultural awareness. Pada level ini seseorang mengalami bagaimana perasaan yang dirasakan oleh budaya lain melalui pandangan dari dalam dirinya. Hal ini melibatkan emosi dan juga perilaku yang dilakukannya melalui pengalaman-pengalaman langsungnya dengan situasi dan budaya tertentu seperti belajar bahasa, kebiasaan, dan memehami nilai-nilai yang ada dalam budaya tersebut.
Berdasarkan tingkatan dari kesadaran budaya diatas, perlu bagi konselor untuk memiliki pemahaman dalam menggunakan tingkatan-tingkatan tersebut untuk memahami budaya. Tingkatan-tingkatan tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan aplikasi guna memahami fitur-fitur kunci pada perbedaan budaya. Sehingga dapat diaplikasikan dengan menggunakan teknik-teknik yang tepat untuk memahami dalam pelaksanaan konseling.

2.3  Konselor dan Kesadaran Budaya
Peran konselor dalam proses memandirikan individu merupakan peran yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itu dalam proses layanan konseling yang diberikannya, konselor tentu perlu untuk memiliki pemahaman yang mendalam terhadap konselinya. Pemahaman tersebut mencakup hal-hal yang ada dalam dirinya sendiri dan juga konselinya. Kesadaran akan perbedaan yang dimiliki antara keduanya menjadi salah satu cara yang penting untuk menjaga hubungan dan interaksi dalam proses konseling.
Ekspektasi kinerja konselor dalam memberikan layanan konseling akan selalu digerakkan oleh motif altruistic dalam arti selalu menggunakan penyikapan yang empatik, menghormati keberagaman, serta mengedepankan kemaslahatan pengguna pelayanannya, dilakukan dengan selalu mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari tindak pelayanannya itu terhadap pengguna pelayanan, sehingga pelayanan professional dinamakan “ the reflective practitioner” (depdiknas,2008).
Penting bahwa konselor memahami budaya mereka sendiri dalam rangka untuk bekerja dengan klien tanpa memaksakan nila-nilai mereka, menyinggung klien,  atau perilaku non verbal klien yang salah diinterpretasikan. Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman atau ketidakmengertian maka konselor harus memiliki kesadaran akan perbedaan yang terjadi tersebut agar klien dapat merasa nyaman. Kesadaran akan perbedaan budaya yang dimiliki konselor dapat membantu dan mendidik tidak hanya konselor namun juga klien terkait dengan budaya masing – masing. Sehingga hal tersebut dapat membantu keduanya untuk bekerja sama dalam mengatasi masalah klien atau dalam lingkungna yang lebih kondusif bagi pertumbuhan klien.
Berkaitan dengn hal diatas, penting bagi konseor memiliki kompetensi yang akan memberikan arah dalam pelaksanaan konseling dengan keberagaman budaya konselinya. Refleksi terhadap praktek konseling tentu akan melibatkan pemahaman dan kesadaran konselor terhadap budaya yang dimilikinya dan konselinya. Kesadaran budaya (cultural awareness) merupakan salah satu dimensi yang penting untuk dimiliki oleh konselor. Dimensi ini perlu dimiliki oleh konselor agar dapat memiliki pemahaman dan kesadaran bahwa factor budaya yang dimilikinya (ras, gender, nilai-nilai, kelas social, dan lain-lain) akan memperngaruhi perkembangan diri dan pandangan terhadap dirinya. Oleh karena itu perlu baginya untuk mengetahui bahwa nilai dan perilaku yang dimilikinya akan berpengaruh kepada orang lain. Hal tersebut secara substansial akan berdampak pada perkembangan manusia dan proses konseling (geilen et al, 2008).
Kardinata (2005) menyebutkan bahwa sebagai pendidik psikologis, konselor harus memiliki kompetensi dalam hal ini :
  1. Memahami kompleksitas interaksi individu – lingkungan dalam ragam konteks social budaya. Ini berarti seorang konselor baru mampu mengakses, mengintervensi, dan mengevaluasi keterlibatan dinamis dari keluarga, lingkungan, sekolah, lembaga social, dan masyarakat sebagai factor yang berpengaruh terhadap keberfungsian individu didalam system.
  2. Menguasai ragam bentuk intervensi psikologis baik antar maupun intra pribadi dan lintas budaya. Kemampuan menguasai teknik – teknik treatment traditional yang terdiri atas konseling individual dan kelompok harus diperluas kearah penguasaan teknik-teknik konsultasi, pelatihan dan pengembangan organisasi.
  3. Menguasai strategi dan teknik assessment yang memungkinkan dapat dipahaminya keberfungsian psikologis individu dan interaksinya dengan lingkungan.
  4. Memahami proses perkembangan manusia secara individual maupun secara social. Sebagai orang profesional, konselor harus mampu mengkonseptualisasikan dan memfasilitasi proses pertumbuhan melalui pengembangan interaksi optimal antara individu dengan lingkungan. Konselor harus bergerak melintas dari konsep static tentang “kecocokan individu-lingkungan” kearah “alur individu-lingkungan” yang menekankan kepada keterikatan pengayaan pertumbuhan antara individu dengan suatu lingkungan belajar.
e.    Memegang kokoh regulasi profesi yang terinternalisasi ke dalam kekuatan etik profesi yang mempribadi.
f.     Memahami dan menguasai kaidah-kaidah dan praktek pendidikan.
Berdasarkan penjelasan diatas terkait dengan kompetensi yang penting bagi seorang konselor agar mampu memahami perkembangan manusia, kompleksitas manusia yang memiliki keragaman baik dari konteks individu maupun sosial budayanya. Oleh karena itu, penting bagi konselor secara umum (tidak hanya untuk konselor multikultular) dapat memiliki kesadaran budaya perlu memperhatikan berbagai hal yang terkait dengan pemahaman individu dan lingkungan.
Kesadaran budaya yang perlu dimiliki konselor tentu diawali juga dengan pemahamannya terhadap perbedaan budaya konseli. Patterson (2004) menyebutkan bahwa terdapat 2 jenis perbedaan konseli yaitu accidential dan essential. Perbedaan budaya, etnik dan ras merupakan suatu hal yang terjadi dengan tidak sengaja (misalnya tempat dilahirkan). Namun, konseli juga memiliki kesamaan pada hal-hal yang utama atau hal yang pokok (essential) sebagai manusia. Oleh karena itu, konselor perlu memiliki kualitas dasar dalam pelaksanaan konseling. Rogers (patterson, 2004) menyebutkan 5 kualitas dasar konselor yaitu :
a.    Respect. Menghargai klien merupakan hal yang penting bagi konselor. Hal ini termasuk memiliki kepercayaan kepada klien dan memiliki asumsi bahwa klien memiliki kemampuan untuk mengambil tanggung jawab untuk dirinya sendiri (termasuk selama proses konseling berlangsung), klien memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan dan memutuskan dan memecahkan masalahnya.
b.    Genuinenes. Konseling merupakan hubungan yang nyata. Konselor perlu memiliki kesungguhan dalam memberikan konseling dan juga adalah sosok yang nyata. Selain itu konselor harus sesuai dengan diri sesungguhnya (kongruensi) ini berarti konselor betul-betul menjadi dirinya tanpa kepalsuan.
c.    Empathic understanding. Pemahaman yang empati lebih dari sekedar pengetahuan tentang klien. Akan tetapi pemahaman yang melibatkan dunia dan budaya klien secara mendalam. Ibrahim (Patterson, 2004) mengemukakan bagwa kemampuan untuk menunjukkan empati pada budaya secara konsisten dan hal-hal yang memiliki makna merupakan variabel penting untuk melibatkan klien.
d.   Communication of empathic, respect and genuineness to the client. Kondisi  ini penting utntuk di persepsi, diakui, dan dirasakan oleh klien. Persepsi tersebut akan mengalami kesulitan jika klien berbeda dengan konselor baik dari budaya, ras, sosial ekonomi,umur dan gender. Oleh karna itu penting baggi konselor untuk memahami perbedaan tersebut. Sue ( patterson, 2004) menyatakan bahwa  peemahaman terhadap perbedaan baik secara verbal maupun noverbal akan sangat membantu dalam proses  konseling.
e.    Structuring. Salah satu elemen pointing yang terkadang tidak disadari oleh konselor adalah struktur atau susunan dalam proses konseling. Vontress (Patterson, 2004) menyebutkan bahwa huibungan dengan seorang professional yang menempatkan tanggung jawab utama kepada individu untuk memecahkan masalahnya sangat sedikit. Pekerjaan konselor dalam proses konseling sebaiknya memiliki sususnan dan mengartikan peranya pada klien. Konselor sebaiknya menyatakan bahwa apa, bagaimana dan mengapa dia bermaksud melakukan konseling. Kegagalan untuk memberikan pemahaman peran konselor di awal proses konseling dapat menghasilkan ketidakpahaman antara keduanya.
Beberapa kualitas konselor di atas, memang memiliki dasar yang utama I(essential) dalam menghadapi klien secara umum, namun ada hal-hal yang secara budaya tidak sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia. Misalnya, terkait dewngan elemen yang terakhir yaitu structuring, bagi beberapa budaya di Indonesia pentingnya seorang professional dalam memberikan bantuan melalui proses konseling masih sangat terbatas sehingga untuk melakukan sesuai kriteria tersebut perlu penggalian lebih mendalam bagi seorang konselor.
Selanjutnya, kesadaran budaya konselor dalam menghadapi perbedaan nilai-nilai menjadi faktor penentu efktifitas proses konseling yang diberikannya. Bishop (Kertamuda, 2009) menyebutkan pedoman (guidelines) yang perlu dimiliki konselor terkait perbedaan nilai-nilai yaitu:
a.    Konselor  membantu klien agar merasakan bahwa nilai-nilai yang dimilikinya dapat diterima selama proses konseli berlangsung. Peran konselor adalah meyakinkan konseli bahwa perasaan klien terkait dengan nilai-nlai yang dimilikinya dapat diterima oleh konselor.
b.    Konselor memberikan pandangan terhadap klien bahwa nilai-nilai, dalam hal ini nilai keagamaan, yang dimiliki sebagai bagian dalam memecahkan masalah yang dihadapi klien, tidak hanya sebagai bagian dari masalah. Konselor perlu memiliki pemahaman bahwa nilai-nilai keagamaan dapt memberikan pengaruh positif teerhadap kesehatan mental klien sama dengan dukungan sosial yang diberikannya.
c.    Konselor harus meningkatkan diri dan memiliki pendidikan tentang budaya, nilai-nilai keagamaan, keyakinan, dan mempraktekkan; berusaha untuk mengerti bagaimana isu-isu terkait dalam hal tersebut diintegrasikan melalui teori psikologi dan praktek konseling.
d.   Konselor mengikuti aktivitas-aktivitas di masyarakat yang dapat meningkatkan interaksinya dengan orang-orang yang berbeda secara budaya maupun agama.
e.    Konselor mampu mengeksplor dan mengevaluasi nilai-nilai personal yang dianutnya. Penilaiaan diri (self-examination) merupakan hal penting karena (1) setiap orang memiliki kelemahan-kelemahan (blind spot) yang dapat menimbulkan bias terkait dengan nilai, (2) kita perlu menyadari terhadap bias-bias yang dimiliki saat menghadapi klien, (3) proses klarifikasi terhadap nilai-nilai personaql dapat membantu konselor mengidentifikasi masalah atau nilai-nilai yang dimiliki klien, (4) perjuangan konselor untuk memahami nilai-nilainya dapat memberikan pemahaman yang baik dan menghargai proses konseling bersama klien.
f.       Konselor harus hati-hati dengan perlawanan atau penolakan (resistance) yang dimilikinya terhadap permasalahan. Konselor yang tidak bersedia terbuka untuk berdiskusi dan berintegrasi dengan nilai – nilainya maka proses konseling dapat beresiko dalam menyampaikan pesan kepada klien. Klien akan mulai mempercayai konselor diawal proses konseling. Oleh karena itu perlu memberikan kesan bahwa memang dia dapat dipercaya oleh kliennya.
g.      Konselor perlu mengembangkan bahasa yang sederhana dan jelas agar dapat berkomunikasi dengan klien tentang nilai – nilai keagamaan baik itu yang dimiliki konselor maupun klien.
Segala kompetensi, kualitas dan guidelines tidak akan efektif dalam proses konseling jika konselor tidak memiliki metode dan pendekatan yang sesuai dalam menghadapi klien yang multicultural. Patterson 2004 menyampaikan kritikan bahwa konselor tidak membutuhkan kompetensi konselor untuk konseli multicultural. Namun yang dibutuhkan adalah metode dan pendekatan efektif untuk semua klien dan siatnya sebagai system yang universal dalam konseling. Berdasakan hal tersebut, penting bagi konselor untuk memiliki kesadaran budaya dan menempatkannya secara tepat dalam interaksinya dengan klien adalah hal yang penting untuk mengembangkan kesadaran budaya (kultural awareness), konselor sebaiknya meningkatkan penghargaan diri terhadap perbedaan budaya. Konselor harus menyadari stereo type yang ada dalam dirinya dan mempunyai persepsi yang jelas bagaimana pandangannya terhadap kelompok – kelompok minoritas. Kesadaran ini dapat meningkatkan kemampuannya untuk menghargai secara efektif dan pemahaman yang sesuai tentang perbedaan budaya (Brown & Williams, 2003).

2.4  Teknik Konseling Lintas Budaya
Perbedaan budaya yang terjadi di masyarakat menjadi tantangan konselor agar dapat memilki kemampuan dari teknik yang tepat dalam melakukan konseling. Hal yang terpenting lagi yang perlu dimiliki konselor pada saat proses konseling adalah “hadir” (Be Present), perhatian, peduli, dukungan emosional, tidak menghakimi, empati, mendengarkan dan juga cinta. (Geilent ea al, 2008)
Terdapat beberapa teknik konseling yang dikemukakan Thompson (2003) dan sekiranya dapat digunakan oleh konselor agar dapat tetap memiliki kesadaran budaya dan diaplikasikan dalam konseling adalah:
  1. Teknik Listening with Empathy and Linstening with Awareness.
Mendengarkan dengan penuh empati dan penuh kesadaran bertujuan untuk memahami hal-hal yanga ada dibalik ungkapan atau ucapan dari konseli seperti nada suara, penekanan, ekspresi wajah dan ketidak sesuaian antara ekspres dan content. Terdapat empat langkah agar dapat mendengarkan penuh empati yaitu: Mendengarkan perasaan baik itu secara verbal maupun nonverbal, mengakui persaan dan mampu mengidentifikasi apa yang dilihat dan didengar dari konseli, memperjelas apa yang dirasakan oleh konseli terhadap perbedaan yang ada, mengecek kebenaran dari apa yang diungkap oleh konseli.
  1. Teknik the Use of “I-Message”
Teknik ini bertujuan untuk memberikan respon yang asertif untuk mengatasi konflik dalam diri konseli yang berbeda budaya dengan konselor. Albert and Emmons (Thompson, 2003) mengidentifikasikan tiga lengkp empati yang assertif, yaitu membiarkan konseli tahu posisi konselor, memberi tahu konseli tentang apa yang anda inginkan dari proses konseli ini. Hal ini bertujuan agar terjadi komunikasi yang tepat dan sesuai dengan apa yang konseli butuhkan.
  1. Teknik Companion
Teknik ini membantu konseli agar dapat merasakan bahwa kehadiran konselor sebagai pendamping, yang peduli, dan penuh kasih agar konseli dapat memahami kebutuhan emosionalnya. Kesadaran konselor untuk meyakinkan dan mendengarkan konseli meskipun terdapat perbedaan antara mereka dapat pendukung bagi konseli.
  1. Teknik Repeating the Obvious
Teknik ini bertujuan untuk mengklarifikasi pikiran dan perasaan konseli secara langsung terhadap permasalahan yang dihadapinya. Schriner (Thompson,2003) mengemukakan dua jenis pernyataan yang penting, yaitu kalimat “I Understand” dan “I Can”. Kedua kalimat itu sangat membantu dalam menghadapi masalah atau perasaan tidak bahagia. Pengulangan terhadap kalimat tersebut oleh konseli dapat mengatasi dan menjadi kekuatan baginya.
  1. Teknik Communicating to Enhance Relationships
Teknik ini bertujuan untuk mengidentifikasi keterampilan komnikasi yang dapat meningkatkan hubungan antar pribadi secara aktif dan penuh perhatian. Menjaga hubungan melalui berbagai perasaan dan bersama meraih apa yang diinginkan dalam proses konseling yang dilakukan serta bagaimana aplikasinya di luar proses konseling.
  1. Teknik Possitive Affirmations
Teknik ini merupakan teknik yang dapat meningkatkan kesejahteraan pribdi dan harga diri konseli. Dalam proses konseling, teknik ini digunakan oleh konselor untuk meyakinkan konseli bahwa hal-hal yang positif dapat membuatnya merasa nyaman baik dengan dirinya sendiri maupun lingkungannya.
  1. Teknik Turning You-Statement into I-Statement
Teknik ini bertujuan untuk mengungkapkan perasaan dan emosi yang tertekan dari konseli. Penekanan dan penolakan terhadap apa yang dirasakan dapat berakibat meningkatnya iritabilitas dan konflik dengan orang lain, kesulitan menyelesaikan masalah interpersonal, presepsi yang terdistorsi. Penggunaan I-statement dapat membantu konselli untuk tidak menghakimi dan menyalahkan orang lain ataupun lingkungannya tentang apa yang dirasakannya.

2.5  Bidan sebagai Professional Helper dalam Penerapan Awareness of Culture Experince
1.      Bidan mengidentifikasi terlebih dahulu mengenai budaya-budaya dan adat istiadat yang ada dalam lingkungan dimana Bidan tersebut memberikan pelayanan kesehatan. Hal ini bertujuan untuk dapat mengetahui budaya yang lahir dalam lingkungan tempat bidan bekerja. Selain itu, hal ini dapat memberikan bidan pengetahuan untuk bisa melakukan adaptasi terhadap lingkungan sekitar.
2.      Setelah melakukan identifikasi terhadap budaya-budaya setempat, bidan bisa memilah-milah budaya mana saja yang sesuai dengan fakta kesehatan. Sedangkan pandangan budaya yang kurang sesuai dengan fakta kesehatan, maka sikap bidan sebagai professional helper berperan untuk mengubah pandangan masyarakat melalui tahap-tahap sesuai dengan penerapan awareness of culture experience

BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang makalah ini, konselor perlu untuk memperkuat kesadarannya terhadap budaya yang beragam dalam kehidupan manusia. Pentingnya memahami perbedaan nilai – nilai, persepsi, emosi, dan factor – factor lain yang menjadi wujud kemajemukan yang ada. Kompetensi, kualitas dan guideline tentang kesadaran budaya konselor dapat diwujudkan dengan memiliki kesadaran dan sensitive (kepekaan) pada wrisan budayanya sendiri, memiliki pengetahuan tentang rasnya dan bagaimana hal tersebut secara personal dan professional mempengaruhi proses konseling dan memiliki pengetahuan tentang kehidupan social yang ada mempengaruhi orang lain.
Hal tersebut akan membantu konselor dalam menghadapi tantangan diera globalisasi. Oleh karena itu pembekalan terhadap kompetensi, kemampuan, dam peguasaan teknik konseling serta kesadaran budaya harus terus dijadikan landasan penting dalam diri konselor dalam menggunakan metode dan pendekatan yang efektif kepada konseli.

3.2  Saran
Dalam menjalankan profesinya bidan diharapkan tidak memaksakan kehendaknya sendiri dalam rangka menghadapi budaya – budaya yang ada, karena tidak semua budaya tersebut sesuai dengan pelayanan kesehatan. Kesadaran dalam pengalaman budaya dapat dijadikan acuan untuk bisa menyesuaikan diri terhadap budaya – budaya yang ada di lingkungan dimana bidan tersebut memberikan pelayanan.

DAFTAR PUSTAKA

Bodenhorn, Nancy, dkk. 2005. Increasing Personal Cultural Awareness trough Discussions with International Students. Internasional Journal of Teaching and Learning in Higher Education. Vol. 17, Number 1, 63-68.
Kim,  Bryan, dkk. 2003. Conselor ethnicity, counselor nonverbal behavior, and session with Asian Americans Clients : Initial Findings. Journal Counseling and Development. Vol 81.2, pp.202-207

1 komentar:

  1. kok sama dengan tensisnya Fatchiah Kertamuda, SPd. MSc dri univ paramidana jakarta ya?

    BalasHapus